Sabtu, 12 Oktober 2013

KUALITAS GURU TERSERTIFIKASI DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR

KUALITAS GURU TERSERTIFIKASI
DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR[1]

Venny Indria Ekowati[2]

A.    Latar Belakang Masalah
                 Mutu pendidikan di Indonesia semakin menurun. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat kelulusan ujian akhir nasional (UAN), turunnya peringkat Indonesia di tingkat negara-negara berkembang dalam berbagai kemampuan, serta ketertinggalan dari negara yang pernah belajar di Indonesia. Mutu pendidikan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya adalah guru. Meskipun faktor-faktor lain ikut mempunyai andil dalam merosotnya mutu pendidikan namun guru dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penentu karena gurulah yang secara terprogram berinteraksi dengan peserta didik dalam proses pembelajaran (Dirjen Dikti, 2006). 
                 Lebih lanjut diuraikan bahwa guru di Indonesia khususnya di tingkat sekolah dasar yang berjumlah 1,4 juta guru hanya 8,3 % yang berkualifikasi S1, sedangkan yang berkualifikasi D2 berjumlah 40,14% dan yang berkualifikasi di bawah D2 49,33% (Dirjen Dikti, 2006). Data-data mengenai rendahnya kualitas guru tersebut mengindikasikan besarnya permasalahan yang harus diselesaikan untuk memenuhi amanat UU no. 14 tahun 2005 yang menargetkan para pendidik harus memenuhi kualifikasi minimal. Salah satu amanat yang termaktub dalam Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) bahwa guru sebagai agen pembelajaran diharapkan mempunyai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional.
                 Pemerintah telah merintis peningkatan mutu pendidikan di Indonesia secara bertahap. Diawali dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah kembali menggulirkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen untuk mendongkrak kualitas tenaga pendidik di Indonesia. Penyusunan undang-undang ini berikutnya direalisasikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Keseriusan tekad pemerintah untuk memperbaiki mutu pendidikan melalui peningkatan profesionalisme tenaga pendidik diwujudkan dengan keluarnya Peraturan Menteri Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan.
                 Terbitnya berbagai macam peraturan dari undang-undang, peraturan pemerintah, sampai dengan peraturan menteri tersebut merupakan bentuk nyata upaya pemerintah untuk menyejajarkan profesi guru dengan profesi lain sebagai tenaga profesional. Langkah ini ditempuh sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas (mutu) pendidikan di Indonesia. Peningkatan profesionalisme guru dipandang sebagai langkah taktis peningkatan mutu pendidikan. Alasannya memang tepat, karena tenaga pendidik merupakan ujung tombak peningkatan mutu proses belajar mengajar di kelas yang pada ujungnya akan mampu meningkatkan mutu lulusan, sehingga pamor dan mutu pendidikan dapat terangkat.
                 Program peningkatan profesionalisme guru ini ditempuh dengan mengadakan uji sertifikasi. Para tenaga pendidik yang lulus sertifikasi akan memperoleh sertifikat sebagai bentuk pengakuan sebagai tenaga profesional. Uji sertifikasi menggunakan instrumen portofolio yang memuat kompetensi-kompetensi guru.
                 Sertifikasi bertujuan untuk (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, dan (4) meningkatkan profesionalitas guru. Sedangkan manfaat sertifikasi tenaga kependidikan adalah (1) Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra profesi guru, (2) Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan tidak profesional, dan (3) Meningkatkan kesejahteraan guru. Secara umum sertifikasi guru merupakan upaya peningkatan mutu guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru dan diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan (Depdiknas, 2007).
                 Keputusan pemerintah untuk mengadakan sertifikasi bagi para tenaga pendidik mengundang pro dan kontra di masyarakat. Sebagian pihak menilai sertifikasi guru sebagai langkah positif, namun pihak yang lain memandang secara negatif. Seperti yang termuat dalam Kedaulatan Rakyat 12 Desember 2007, yang memuat opini bahwa sertifikasi guru dapat menimbulkan dampak negatif. Pasalnya sistem portofolio yang digunakan sebagai tolok ukur dalam proses sertifikasi dianggap masih rentan kecurangan dalam prosesnya. Sertifikasi merupakan angin segar bagi para tenaga pendidik karena sistem ini akan meningkatkan taraf kesejahteraan. Namun di lain pihak, adanya kompensasi peningkatan gaji dan fasilitas lain yang didapatkan oleh guru tersertifikasi juga dapat menimbulkan kecemburuan, khususnya bagi guru yang belum tersertifikasi karena adanya kesenjangan pendapatan yang cukup signifikan.
                 Komentar serupa juga dikemukakan oleh Arifin (2007) yang menyatakan bahwa tujuan awal sertifikasi guru sudah melenceng atau dibiaskan menjadi tujuan lain. Tujuan sertifikasi guru tidak lagi ingin mendapatkan kualitas guru yang berstandar baik-secara akademik, tetapi standar kesejahteraan baik.  Untuk sejahtera (standar), harus memegang tanda lulus sertifikasi. Bukan: Untuk menjadi guru yang baik (minimal standar) harus memegang tanda lulus sertifikasi. Apa yang terjadi ketika tujuan melenceng? Penghalalan segala cara. Memalsu tanda tangan kepala dinas pendidikan pun akan dilakoni asalkan bisa lebih sejahtera (daripada kondisi sekarang). Itu Artinya, sertifikasi guru  sama sekali tidak memberikan dampak kompetensi akademik bidang studi dan paedagogik pada guru. Bila tidak ada dampak peningkatan kompetensi, bukankah program ini hanya sebatas simbol cap jempol semata (Arifin, 2007).
                 Senada dengan pertanyaan di atas, Mujid (2007) juga mempertanyakan apakah kualitas pendidikan di Indonesia akan membaik setelah sertifikasi guru? Beberapa opini lain muncul bahwa sertifikasi guru tidak akan membawa pencerahan dalam peningkatan kualitas guru. Hal ini dikarenakan prosesnya tidak berlangsung secara ideal. Pertanyaan dan pernyataan baik di forum-forum seminar, perkuliahan, media massa, media elektronik baik televisi maupun melalui forum komunikasi lewat internet, pertanyaan dan pernyataan tentang jaminan peningkatan mutu guru sebagai efek sertifikasi semakin sering dikemukakan.
                 Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk membuktikan sejauh mutu dan kualitas para guru tersertifikasi dalam proses belajar mengajar. Karena kualitas proses belajar mengajar merupakan komponen utama dalam peningkatan hasil pembelajaran siswa.

B.     Kompetensi Guru

Kompetensi menurut Charles E. Johnson: “Competency as rational performance which satisfactorily meeets the objective for desired condition”. Menurutnya kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu kompetensi ditunjukkan dengan penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggungjawabkan (rasional) dalam upaya mencapai tujuan (dalam Sanjaya, 2005: 145). Sedangkan berdasarkan UU No. 14 tahun 2005, kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Guru dipandang kompeten apabila dalam melakukan tugasnya dapat berperan sebagai fasilitator, inisiator, dan motivator dalam pencapaian kompetensi lulusan. Disamping itu, guru juga harus mampu mengakomodasikan dinamika perubahan yang terjadi dalam lingkup nasional, regional dan global dengan tetap berpegang pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional, guru harus dapat memfasilitasi proses pembelajaran dan memperhatikan perkembangan peserta didik dalam berbagai dimensinya, yang mengarah kepada kepemilikan dan perkembangan inteligensi, keterampilan belajar, sikap, keterampilan bekerja, dan kemandirian sosial (Mintjelungan, 2008).
Sesuai dengan persyaratan kecakapan, keterampilan dan tanggung jawab dalam tugas, maka jabatan guru termasuk dalam jabatan profesional. Oleh karena itu, untuk menjamin profesionalitas guru perlu diberlakukan akuntabilitas publik dengan sertifikasi dengan mengacu pada pemenuhan kriteria kelayakan profesi guru dan dosen. Sesuai dengan fungsinya sertifikasi bagi guru juga merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memotong mata rantai penyebab rendahnya kualitas guru, termasuk guru sekolah lanjutan pertama.
Kompetensi tenaga kependidikan terutama guru bersifat kompleks. Kompetensi merupakan satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang dimiliki guru terkait dengan profesinya, terkait dengan kemampuan mengaktualisasikan atau mewujudkan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi. Kualifikasi profesional merupakan bentuk perwujudan kompetensi yang dimiliki guru (Mintjelungan, 2008). Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogi, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik.

C.    Sertifikasi Profesionalitas Guru
Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kompetensi atau surat keterangan sebagai pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan setelah lulus uji kompetensi. Sertifikasi berasal dari kata certification yang berarti diploma atau pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku sesuatu jabatan profesional. Apabila dihubungkan dengan profesi guru, maka sertifikasi dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangnya memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran, jenjang dan bentuk pendidikan tertentu, seperti yang diterangkan dalam sertifikat kompetensi tersebut (P3TK Depdiknas, 2003).
Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Bab 1 Pasal 1 ayat 1-2). Sementara itu, profesional dinyatakan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Tujuan sertifikasi menurut Suryanto (2003), adalah untuk memberikan jaminan akan kinerja dan kemampuan guru dalam melakukan pekerjaan mengajar dan mendidik secara profesional. Tanpa sertifikasi akan semakin banyak orang merasa bisa menjadi guru tanpa melalui pendidikan yang diisyaratkan. Anggapan bahwa pekerjaan guru dapat dilakukan oleh siapa saja asal memiliki bekal kemampuan materi yang diperlukan harus segera diluruskan. Hakekat mengajar tidak sekedar transformasi ilmu semata, tetapi ada unsur-unsur pedagogis, sehingga terjadi perubahan perilaku anak didik baik dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Sertifikasi bagi guru merupakan cara yang efektif untuk menjamin kualitas guru untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah dan profesi mengajar. Sertifikasi bagi guru adalah sistem penilaian terpadu yang meliputi proses pengelolaan kinerja guru untuk menunjang peluang pengembangan karier profesionalnya. Sertifikasi guru diarahkan untuk menciptakan iklim dan lingkungan kerja yang berorientasi produktivitas, pemberian imbalan yang baik bagi yang berprestasi, dan berkeadilan, dilakukan secara sistematik, dan ditujukan untuk kesinambungan karier guru secara profesional (Sukamto, 2004).

D.    Kedisiplinan Guru
Masalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru-guru seringkali dijadikan faktor penyebab rendahnya motivasi guru mengajar dan kedisiplinan guru. Rendahnya motivasi mempengaruhi proses pembelajaran di kelas sehingga cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Tidak mengherankan sehingga akhirnya pencapaian belajar siswa termasuk dalam Ujian Nasional menjadi di bawah target yang ditetapkan, yang berdampak kepada menurunnya mutu pendidikan (Hendarman, 2007).
Kurangnya kedisiplinan guru, terutama dalam hal kehadiran di kelas, pernah diteliti oleh Bank Dunia (2005), guru sekolah negeri di Indonesia hadir di ruang kelas hanya 80% dari jam belajar yang sudah ditentukan dalam jadwal.Berarti seorang siswa Kelas 3 SMA, setelah bersekolah selama 12 tahun, menghabiskan waktu 2 tahun 5 bulan menunggu guru yang tidak datang (Coleman, 2007).
Adapun hal-hal yang menyebabkan guru tidak hadir atau datang terlambat antara lain (1) alasan domestik, (2) sakit, anaknya sakit, suami atau istri sakit, acara keluarga, ada yang meninggal, (3) kesibukan, (4) jeda waktu yang sempit dengan mengajar di sekolah lain, (4) tidak ada yang memberi tahu ( kontrolnya kurang, tidak ada sanksi dari pimpinan), (5) banyaknya kegiatan di pesantren sehingga guru banyak yang kecapekan, (6) dinas keluar, (7) jarak dan kesibukan di luar sekolah, (8) bisnis atau ngajar di tempat lain, (9) seringnya melihat Kepsek yang juga sering terlambat, (10) keasyikan ngobrol sehingga lupa kalau ada jam mengajar, (11) cuaca, (12) musim panen, (13) rapat guru, (14) musibah, dan (15) haji.
E.     Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif lapangan (field research), yang merupakan penelitian bersifat kasuistik untuk mendeskripsikan secara keseluruhan, kinerja guru setelah tersertifikasi dalam proses belajar mengajar. Penelitian dilakukan di SMP/ MTs wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah guru SMP/ MTs tersertifikasi di wilayah Daerah Istimewa. Kinerja guru tersertifikasi diteliti menurut pendapat para siswa yang diajar oleh guru terkait. Untuk menjaring data, disebarkan sebanyak 1960 di 49 sekolah di DIY. Setiap sekolah diambil pula dua orang siswa untuk diwawancarai terkait dengan kinerja guru tersertifikasi.

F.     Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berikut hasil amatan siswa-siswa SMP se-DIY terhadap guru tersertifikasi di 65 sekolah yang diambil sebagai sampel penelitian:

Tabel 1: Amatan Siswa Terhadap Kinerja Guru Tersertifikasi dalam PBM
No
No Anget
SLL
SRG
KDG
TP
TT
1.      
1.a
859
307
270
38
57
2.      
1.b
408
349
583
140
52
3.      
2.a
431
388
523
130
34
4.      
2.b
305
427
569
172
49
5.      
3.a
282
434
583
186
27
6.      
3.b
282
505
570
106
36
7.      
4.a
392
447
621
29
24
8.      
4.b
62
224
1020
181
15
9.      
4.c
385
383
468
66
161
10.  
4.d
880
392
183
33
32
11.  
4.e
606
338
345
62
132
12.  
4.f
713
462
274
48
18
13.  
4.g
628
393
323
86
34
14.  
5.a
324
364
477
214
144
15.  
5.b
182
350
514
265
209
16.  
5.c
407
394
605
83
47
17.  
5.d
142
270
603
280
217
18.  
6.a
409
373
636
28
18
19.  
6.b
775
467
201
41
15
20.  
6.c
832
404
246
37
21
21.  
6.d
685
361
307
81
57
22.  
6.e
128
159
588
596
42
23.  
6.f
431
383
587
90
23
24.  
7.a
628
293
414
77
100
25.  
7.b
538
381
467
62
67
26.  
8.a
947
306
242
18
11
27.  
8.b
62
111
989
309
24
28.  
8.c
87
285
920
179
45
29.  
9.a
198
166
229
125
796
30.  
9.b
36
67
273
342
795
31.  
10.a
999
88
23
40
314
32.  
10.b
554
352
349
134
125
33.  
10.c
655
320
262
89
189

Angket yang dibagikan kepada siswa, terdiri dari 33 poin yang memotret kinerja guru tersertifikasi. Berikut uraian angket yang diisi oleh para siswa:
Nomor Angket
Sasaran
1 a, b
Memotret kinerja guru pra pembelajaran
2 a, b
Memotret kinerja guru pada saat membuka pelajaran
3 a, b
Memotret kinerja guru pada saat kegiatan inti dalam PBM
4 a - g
Memotret kinerja guru dalam implementasi pendekatan/ strategi pembelajaran
5 a - d
Memotret kinerja guru dalam pemanfaatan sumber belajar dan media pembelajaran
6 a - f
Memotret kinerja guru dalam memicu dan memelihara keterlibatan siswa dalam PBM
7 a, b
Memotret kinerja guru sebagai figur teladan para siswa
8 a - c
Memotret kedisiplinan guru-guru tersertifikasi
9 a, b
Memotret pengabdian guru-guru tersertifikasi
10 a - c
Memotret ketaqwaan guru-guru tersertifikasi

Karena keterbatasan tempat, data-data yang berhasil dikumpulkan tidak dapat ditampilkan secara keseluruhan dalam makalah ini. Berikut petikan beberapa data yang diperoleh dari hasil penelitian. Kinerja guru tersertifikasi dalam proses belajar mengajar, mulai disoroti pada saat pra pembelajaran.
1.        Persiapan Peralatan Mengajar
Berikut diagram yang menggambar persiapan peralatan mengajar guru tersertifikasi sebelum PBM berlangsung.
Chart 1: Persiapan Peralatan Mengajar
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu











2.        Menjelaskan Kompetensi yang Harus Dikuasai oleh Siswa
Kurikulum Berbasis Kompetensi mengkondisikan siswa untuk menguasai kompetensi-kompetensi yang sudah digariskan dalam kurikulum. Namun kadang siswa tidak menyadari bahwa mereka belum sepenuhnya mencapai kompetensi yang harus dikuasai sesudah menerima pelajaran dari guru. Hal ini dikarenakan sebagian guru masih belum menjelaskan kepada siswa mengenai kompetensi yang harus mereka miliki sesudah mengikuti pelajaran dari guru. Menurut para siswa, 20% guru tersertifikasi selalu menjelaskan kompetensi yang akan dicapai siswa sesudah mengikuti pelajaran, 28% siswa menjawab sering menjelaskan, 38% menjawab kadang-kadang, 11% guru tersertifikasi tidak pernah menjelaskan tentang kompetensi yang harus dikuasai siswa, dan 3% siswa menjawab tidak tahu.
3.        Pendekatan dan Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran yang digunakan para guru tersertifikasi menurut para siswa terbatas pada dua strategi. Guru-guru hanya menggunakan strategi ceramah dan diskusi dalam menerangkan suatu materi pelajaran. Bahkan ada sebagian guru tersertifikasi yang masih menggunakan metode ceramah saja dalam menerangkan materi. Berikut kutipan wawancara dengan siswa.
Selain Bapak menyampaikan materi Quran Hadist dengan ceramah, biasanya juga diselang seling dengan membentuk beberapa kelompok diskusi. Jadi ada satu pokok bahasan yang akan dibahas oleh kelompok-kelompok diskusi tersebut. D.2.SW.RS

Selain ceramah dikelas, biasanya diadakan diskusi kelompok dengan cara main mapping. Misal ada 5 pokok bahasan PKN, setiap kelompok diskusi membahas 1 pokok bahasan PKN baik mengenai pengertian, cirri-ciri, macam-macam dan lain-lainnya. Juga ada simulasi Mbak, seperti dalam cara penataan setiap kelompok benar-benar menyerupai rapat-rapat yang sesungguhnya (misalnya dengan cara menyusun kelompok diskusi membentuk lingkaran atau segi empat).A.2.Sw.

Dalam kegiatan belajar mengajar Matematika yang Bapak ampu, tidak monoton selalu ceramah Mbak tetapi diselang-seling dengan cara diskusi, seperti dibentuk beberapa kelompok belajar yang kemudian masing-masing kelompok diberi tugas oleh Bapak untuk mempelajari dan mempresentasikan hasil diskusi tersebut (misalnya berhubungan dengan pokok bahasan bangun ruang). E.5.Sw

Ibu dalam mengajar Quran Hadist di kelas, menurut pengalaman saya ya selalu ceramah tidak menggunakan metode-metode lainnya. B.3.SW.ED

4.        Kejelasan dalam Menerangkan Pelajaran
Kemampuan guru dalam menerangkan secara jelas merupakan salah satu kompetensi dasar mengajar. Menerangkan atau menjelaskan adalah suatu kerampilan menyajikan informasi secara lisan yang diorganisir secara sistematis untuk menunjukkan adanya hubungan antara satu bagian dengan lainnya. Menerangkan suatu pelajaran bertujuan untuk membimbing siswa memahami suatu materi dan mengarahkan siswa dalam memecahkan suatu masalah, memberikan balikan, menggunakan penalarannya, dan membantu siswa untuk memahami dalil, hukum, prinsip, dan lain-lain (Hasibuan dalam Suwarna, 205: 69-70).
Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh para siswa mengenai kinerja guru tersertifikasi, didapatkan hasil bahwa 26% guru tersertifikasi selalu jelas jika menerangkan materi pelajaran, 30% sering, 40% guru tersertifikasi kadang-kadang masih tidak jelas jika menerangkan suatu materi. Sedangkan 2% siswa menjawab bahwa guru mereka tidak pernah jelas jika menerangkan materi, dan 2%lainnya menjawab tidak tahu.
Chart 2: Kinerja Guru dalam Menjelaskan Materi Pelajaran
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu











5.        Ketrampilan Mengelola Kelas
            Ketrampilan mengelola kelas juga merupakan salah satu kompetensi dasar mengajar yang harus dikuasai oleh para guru. Berikut chart yang menggambarkan jawaban siswa mengenai kinerja guru tersertifikasi dalam keterampilannya menguasai kelas.
Chart 3: Kinerja Guru dalam Mengelola Kelas
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu











Berdasarkan chart di atas dapat disimpulkan bahwa 4% siswa yang diajar oleh guru tersertifikasi selalu ramai, 15% sering ramai, 68% siswa menyatakan kadang-kadang ramai jika diajar oleh guru tersertifikasi, 12% siswa mengaku tidak pernah ramai, dan 1% menjawab tidak tahu.
            Cara-cara menguasai kelas, terutama mengendalikan siswa yang ramai cukup beragam. Sebagian besar guru menegur, menasehati, menghukum dengan cara yang positif, seperti diberikan soal-soal tambahan, dan lain-lain.
Selain hukuman yang bersifat positif, sebagian guru masih ada yang menghukum siswa dengan cara-cara yang negatif misalnya dengan cara memerintah untuk keluar kelas, melemparkan kapur kepada siswa yang ramai, dan lain-lain. Seperti dalam kutipan berikut.
Kalau ada siswa yang ramai, Ibu memberi peringatan kepada siswa tersebut Mbak. Tapi kalau ramainya sudah kebangetan Ibu menyuruh siswa tersebut untuk keluar kelas. B.5.SW.HK

Kalau didalam kelas, Ibu keras mengingatkan siswa tersebut. Terkadang siswa menganggap Ibu galak dengan sikapnya, tapi sebenarnya maksud Ibu untuk mengingatkan itu baik untuk membantu siswa tersebut dalam belajar. Sebenarnya, biarpun Ibu galak tapi ngangeni Mbak (kalau Ibu pergi atau ada tugas diluar sekolah).
Kalau ada yang berantem diluar kelas, oleh Ibu dilerai kemudian diajak ngomong dari hati ke hati baru diberi hukuman (seperti lari mengelilingi lapangan). D.9.SW.Pr

Kalau ada yang ramai, diperingati, disuruh diam, kalau nakal banget kadang dilempar kapur (C.11.Sw)

Kalau ada yang ramai, menasehati, kadang diperingatkan, tetapi keras karena disiplin, ada yang dijewer karena nakal sekali (C.9.Sw)

            Hukuman yang diberikan kepada siswa seharusnya bersifat positif. Hukuman kadang kala memang diperlukan sebagai salah satu sarana untuk melatih siswa agar dapat mempraktekkan disiplin di sekolah serta memberikan efek jera. Bentuk hukuman negatif sekarang ini sudah tidak relevan.

6.        Pemanfaatan Media dan Sumber Pembelajaran
Sebelum melakukan proses belajar mengajar, seorang guru harus menentukan metode yang akan digunakan agar tujuan pembelajaran yang telah disusun dapat tercapai. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan dan sifat materi yang akan menjadi objek pembelajaran. Agar metode yang diterapkan dapat optimal, diperlukan pemakaian media pembelajaran yang tepat. Menurut Schramm (dalam Suwarna, dkk. 2005: 128), media pembelajaran didefinisikan sebagai teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sedangkan Sadiman (1996) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesar dari pengirim ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa.
Para guru tersertifikasi, menurut data yang didapatkan dari wawancara siswa dapat ditarik kesimpulan bahwa para guru tersertifikasi telah menggunakan media pembelajaran. Seperti dalam kutipan berikut.

Setahu saya, Bapak belum menggunakan media pembelajaran dalam mengajar. Bapak menggunakan sumber Alquran dan beberapa Hadist dalam pembelajaran Beliau. D.2.SW.RS

Iya, Ibu mampu merancang dan memanfaatkan media pembelajaran.
Seperti dalam mengajar mata pelajaran Ekonomi, Ibu pernah merancang suatu media yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi, misalnya contoh uang, rekening listrik, PBB, tabungan dan ATM. Ibu juga memanfaatkan media berupa proyektor (OHP) untuk kegiatan belajar mengajar dikelas (A.4.Sw)

Akan tetapi, sebagian kecil guru masih tidak menggunakan media pembelajaran yang inovatif dalam pembelajaran. Seperti dalam kutipan berikut.
Jadi pengalaman saya selama diajar Bu Satimah saat kelas VII kemarin, Ibu belum menggunakan media apa-apa dalam pengajaran  Beliau. Beliau hanya menggunakan sumber-sumber belajar seperti beberapa Hadist dan Alquran serta LKS dalam kegiatan belajar mengajar yang Ibu lakukan. (B.3.SW.Ed).

Perkembangan jaman yang semakin mengglobal, membuat tuntutan masyarakat terhadap kualitas guru juga semakin meningkat. Pada masa sekarang ini, selain menguasai soft skills, guru juga diharapkan menguasai hard skills berupa teknologi. Sudah saatnya teknologi dibawa masuk ke ruang-ruang kelas, untuk memperlancar dan mempermudah proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Zamroni (2008: 40) yang menyatakan bahwa membawa teknologi modern ICT ke ruang-ruang kelas guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas PBM amat diperlukan. Dengan kata lain, guna meningkatkan kualitas pembelajaran sekolah diperlukan paradigma baru pembelajaran yang salah satunya bertumpu pada penggunaan teknologi modern dalam PBM.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para siswa, disimpulkan adanya tiga golongan guru, sehubungan pemanfaatan teknologi dan informasi dalam kinerja, yaitu: (1) golongan guru yang belum menggunakan TI dalam PBM, (2) sudah menggunakan teknologi sederhana, dan (3) guru yang sudah menggunakan TI yang cukup canggih. Berikut kutipan wawancara siswa tentang penggunaan TI oleh para guru tersertifikasi.
a.         golongan guru yang belum menggunakan TI dalam PBM

Menurut pengalaman Adek selama diajar Ibu, apakah Ibu mampu menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional ? misalnya menggunakan komputer, televisi, radio dan lain-lainnya ?

Menurut pengalaman saya, sepertinya Ibu belum pernah menggunakan alat-alat atau teknologi seperti itu pada saat Beliau mengajar. B.3.SW.ED

Saat mengajar Quran Hadist, Bapak belum pernah menggunakan alat-alat seperti itu. Dalam mengajar Bapak menggunakan Quran dan Hadist dari beberapa sumber (lebih dari 1 buku Hadist). D.2.SW.RS

b.        sudah menggunakan teknologi sederhana
Guru golongan ini sudah menggunakan teknologi sederhana, contohnya menggunakan Over Head Projector (OHP), seperti dalam kutipan berikut.
Seperti pada saat presentasi menerangkan materi pembelajaran kepada Kita, Ibu mampu menggunakan proyektor (OHP) sebagai alat untuk menampilkan materi tersebut. B.5.SW.HK

c.         guru yang sudah menggunakan TI yang cukup canggih
Guru golongan ketiga ini sudah menggunakan TI yang cukup canggih. Mereka mampu memanfaatkan teknologi, baik audio maupun visual, memanfaatkan internet, menggunakan laptop dan LCD dalam pembelajaran, televisi, film, dan lain-lain. Berikut kutipan wawancara dengan siswa.
Menurut pengalaman Adik, Ibu mampu nggak menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional pada saat mengajar PKN ? seperti televisi, internet dan lain-lainnya ?
Mampu Mbak. Seperti penggunaan internet baik dalam pembelajaran yang dilakukan oleh Beliau maupun dalam penugasan (sesuai dengan pokok bahasan PKN) kepada para murid. D.9.SW.Pr

Bapak mampu Mbak, menurut pengalaman saya selama diajar Beliau.Misalnya Bapak menggunakan laptop, kemudian menerangkan materi Matematika (seperti materi Aljabar) melalui laptop tersebut. Bapak juga menggunakan video Mbak untuk memutar suatu materi Matematika yang terkait dalam bentuk film kartun, kemudian dari situ Bapak memberikan kuis kepada kita. B.4.SW.LA

7.        Pemilihan Sumber Belajar
Pemilihan sumber belajar pada sebagian guru menjadi suatu tantangan tersendiri. Sebagian guru aktif mencari sumber-sumber belajar lain, di luar buku ajar yang biasanya dimiliki oleh seluruh siswa (buku pegangan wajib). Namun ada pula guru-guru yang hanya mengandalkan satu buah buku sebagai sumber belajar. Buku ini digunakan dari awal sampai akhir semester.
Chart 4: Kinerja Guru dalam Pemakaian Buku Sumber Selain Buku Pegangan
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu








Berdasarkan chart di atas dapat disimpulkan bahwa 21% guru tersertifikasi selalu menggunakan buku lain selain buku pegangan sebagai sumber belajar, 24% menyatakan sering, 32% kadang-kadang. Sedangkan 14% siswa menyatakan bahwa guru-guru mereka tidak pernah menggunakan sumber belajar selain buku pegangan. Sedangkankan 9% siswa menjawab tidak tahu.
           
Chart berikutnya mempresentasikan data sebagai berikut:
Chart 5: Kinerja Guru dalam Pemilihan Materi Belajar










Berdasarkan chart di atas disimpulkan bahwa 12% guru-guru tersertifikasi mengambil materi lain di luar buku pegangan untuk diajarkan kepada para siswa, 23% menyatakan sering, 34% siswa menyatakan bahwa bahwa guru mereka hanya kadang-kadang mengambil materi dari sumber yang lain, 17% menyatakan guru-guru tidak pernah mengambil materi lain di luar buku pegangan, sedangkan 14% menjawab tidak tahu. Chart di atas menunjukkan bahwa guru tersertifikasi hanya kadang-kadang saja mengambil materi dari sumber selain buku pegangan. Hal ini dikarenakan materi yang terlalu banyak, sehingga guru tersertifikasi kekurangan waktu untuk memberikan materi pengayaan dari sumber yang lain selain buku pegangan.
Sumber belajar merupakan komponen penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran yang telah digariskan dalam proses belajar mengajar. Menurut Nana Sudjana dalam Nurcahyo (2008: 1227), sumber belajar terdiri atas manusia, bahan tertulis, media, dan alat peraga, dan pengalaman siswa itu sendiri. Jadi, pada dasarnya semua yang ada di sekitar kita dapat digunakan sebagai sumber belajar. Baik makhluk hidup maupun benda mati. Termasuk pengalaman pribadi maupun sosial.Tinggal bagaimana guru menggunakan sumber belajar tersebut secara tepat, optimal, efektif-efisien, sesuai dengan sasaran yang akan dituju, yaitu tercapainya tujuan pembelajaran. Berikut hasil wawancara dengan para siswa tentang penggunaan sumber belajar oleh para guru tersertifikasi.
Ibu menggunakan banyak sumber Hadist termasuk sumber-sumber Hadist yang ada di perpustakaan sekolah ini. B.3.SW.ED

Bapak menggunakan banyak sumber Hadist dan sebuah Alquran untuk menyampaikan materi pembelajarannya kepada Kita. Tidak, Bapak belum menggunakan LKS menurut pengalaman saya diajar Beliau. D.2.SW.RS

Tidak hanya satu sumber belajar atau satu buku paket Mbak, Ibu juga menggunakan buku-buku paket PKN yang lain dan LKS. D.9.SW.Pr

Menurut pengalaman saya, Bapak menggunakan lebih dari satu sumber belajar Mbak. Selain buku paket Matematika dari sekolah, Bapak juga menggunakan buku-buku paket Matematika yang berisi soal-soal Matematika. B.4.SW.LA

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa guru-guru tersertifikasi masih belum optimal dalam mengeksplorasi sumber belajar. Mereka hanya menggunakan sumber belajar yang terbatas pada buku-buku saja. Belum memanfaatkan pengalaman riil siswa. Guru juga masih menempatkan diri mereka sebagai satu-satunya sumber belajar yang terpenting di kelas. Padahal jika sumber belajar lebih variatif dan dapat dieksplorasi lebih lanjut, kedudukan guru yang dominan di kelas akan bergeser menjadi fasilitator, bukan penguasa kelas.
8.        Kedisiplinan
Masalah rendahnya tingkat kesejahteraan guru-guru seringkali dijadikan faktor penyebab rendahnya motivasi guru mengajar dan kedisiplinan guru. Rendahnya motivasi mempengaruhi proses pembelajaran di kelas sehingga cenderung berlangsung tidak efektif dan efisien. Beberapa indikator mengenai kedisiplinan guru antara lain (1) mengisi jam pelajaran secara efektif, sampai bel akhir berbunyi, (2) masuk kelas sesuai jadwal (tidak sering kosong), dan (3) tidak meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas, saat pelajaran sedang berlangsung. Berikut pendapat para siswa mengenai kedisiplinan para guru yang sudah tersertifikasi.




Chart 6: Kedisiplinan Guru dalam Memanfaatkan Waktu
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu







                Berdasarkan chart di atas diperoleh kesimpulan bahwa 62% guru tersertifikasi selalu memanfaatkan jam pelajaran sampai habis selesai, 20% siswa menjawab sering, 16% menjawab kadang-kadang, 1% siswa menyatakan guru tidak pernah menghabiskan jam pelajaran, dan 1% sisanya menjawab tidak tahu.
Chart 7: Prosentase Jam Pelajaran Kosong
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu







Berdasarkan chart di atas, 4% siswa menjawab bahwa guru tersertifikasi sering mengosongkan pelajaran, 7% siswa menjawab sering, 66% menjawab guru kadang-kadang mengosongkan pelajaran, 21% siswa menjawab guru tidak pernah mengosongkan pelajaran. Sedangkan 2% siswa menjawab tidak tahu.






Chart 8: Frekuensi Guru Meninggalkan Kelas
Ket:  (1) selalu, (2) sering, (3) kadang-kadang, (4) tidak pernah, (5) tidak tahu












            Beberapa guru juga sering meninggalkan kelas pada saat jam pelajaran berlangsung, tanpa alasan yang jelas. Hal ini tampak dalam chart di atas. Sebanyak 6% siswa menjawab bahwa guru mereka selalu meninggalkan kelas pada saat jam pelajaran berlangsung, kemudian beberapa saat kemudian kembali lagi ke kelas.Sebanyak 19% menjawab kelakuan guru tersebut sering dilakukan, 60% menjawab kadang-kadang, 12% menjawab bahwa guru mereka tidak pernah meninggalkan pelajaran yang sedang berlangsung, sedang 3% menjawab tidak tahu.
            Tiga buah chart di atas menggambarkan unsur kedisiplinan guru dalam proses pembelajaran. Berdasarkan chart dapat disimpulkan bahwa sebagaian besar guru disiplin dalam memanfaatkan waktu pembelajaran di kelas. Akan tetapi sebagian besar siswa menyatakan pula bahwa pelajaran kadang-kadang kosong dan guru juga kadang-kadang meninggalkan kelas pada saat pembelajaran berlangsung. Berdasarkan wawancara dengan para siswa, sebagian besar guru walaupun kadang mengosongkan pelajaran, tetapi selalu dengan alasan yang jelas (misalnya tugas dari sekolah, penataran, dan lain-lain). Guru-guru tersertifikasi juga selalu meninggalkan tugas untuk mengganti ketidakhadirannya. Menurut para siswa, selain tertib dalam menggunakan jam pelajaran, juga tertib administrasi. Misalnya tidak lupa mengisi presensi dan kemajuan kelas.

Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Kinerja guru tersertifikasi dalam perencanaan pembelajaran sudah cukup baik, tetapi masih perlu ditingkatkan. Sebagai pengelola proses pembelajaran, guru tersertifikasi dalam penelitian ini telah mampu menyusun RPP secara baik yaitu 93,75% responden menyatakan mampu dan hanya sebagian kecil saja guru tersertifikasi yang belum mahir menyusun RPP. Hal tersebut disebabkan kurangnya pemahaman terhadap pentingnya perencanaa pembelajaran yang baik, sebagai syarat ketercapaian tujuan pembelajaran secara efektif, efisien, dan tepat sasaran.
2.      Kinerja guru dalam proses pembelajaran secara umum sudah cukup baik, tetapi masih ada beberapa hal yang harus ditingkatkan. Salah satunya adalah penggunaan media pembelajaran yang kurang beragam. Selain itu metode pembelajaran juga belum variatif, mayoritas hanya ceramah sehingga menimbulkan kebosanan pada siswa. Hal lain yang juga menjadi sorotan adalah penggunaan TIK yang tidak optimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya kompetensi guru (khusunya guru yang sudah berumur), dan keterbatasan sarana dan prasarana sekolah. Hal tersebut nampak dari penguasaan teknologi pembelajaran, dinyatakan bahwa setidaknya ada 50% guru tersertifikasi ini telah mampu memanfaatkan teknologi, 30% kadang-kadang, dan 20% belum pernah menggunakan.
3.      Kinerja guru dalam proses pelaksanaan pengabdian dan unsur penunjang sudah cukup baik, walaupun masih ada beberapa komponen yang perlu dioptimalkan pelaksanaannya. Hasil wawancara menunjukkan salah satu komponen penunjang (pelaksanaan administrasi), yaitu 94% sudah melaksanakan administrasi sekolah dengan baik, sedangkan 6% lainnya sudah melakukan, tetapi kurang optimal
4.      Kinerja guru dalam pengembangan diri khususnya dalam pengembangan wawasan kependidikan, menjadi teladan, peningkatan kompetensi kepribadian, dan kesadaran dalam meningkatkan mutu pendidikan sudah cukup baik. Komitmen yang dibangun guru SMP/MTS tersertifikasi dalam penelitian ini telah menunjukan mutu pendidikan di sekolah mayoritas meningkat 76,56%, hal tersebut dibuktikan dengan aktif diberbagai kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Namun demikian ada juga guru yang enggan meningkatkan diri yaitu ada 20,44%. Sedangkan untuk komponen evaluasi diri para guru masih tergantung pada supervisi kepala sekolah. Selain itu cenderung subjektif dalam mengevaluasi kinerja secara mandiri. Selain itu para guru juga belum memiliki kesadaran untuk melakukan penelitian secara mandiri. Karya ilmiah ilmiah yang dihasilkan hanya terbatas pada buku ajar.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Habe. 2007. “Lima Penyesatan Program Sertifikasi Guru” diakses dari www.keluargaunesa.com pada 14 Januari 2008.
Coleman, Hywel. 2007. “ Manajemen Waktu” diakses dari www.bangjay.com pada 21 Januari 2008.
Dantes, N. 2008. ”Pendidikan Profesi Guru Dalam Kaitannya Dengan Peningkatan Profesionalisme Guru (Refleksi Tentang Struktur Program LPTK”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Instrumen Sertifikasi Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Pedoman Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan untuk Guru. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Ketenagaan DIKTI. 2006. Rambu-rambu Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru SD. Jakarta: Dirjen DIKTI.
Ditnaga, Dirjen Dikti, Depdiknas, Naskah Akademika Program Pendidikan Profesional Guru Prajabatan, Jakarta, 2008.
Hamzah B.Uno,Haji. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hendarman. 2007. “Menyoal Jaminan Kesejahteraan Guru” diakses dari www.pmptk.net. pada 21 Januari 2008.
Hendayana, Sumar. 2008. ”Model Pembinaan Guru Mipa Profesional Berbasis Lesson Study Dan Implikasinya Terhadap Pembinaan Dosen FPMIPA UPI: Studi Kasus di Kabupaten Sumedang”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.
Hidayati, Thantien. 2008. “Kajian  Terhadap  Relevansi  Antara  Kebijakan  Sertifikasi  Pendidik Dengan  Peningkatan  Kesejahteraan  Pendidik   dan  Mutu  Pendidikan”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Joko Susilo, Muhammad. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kadarohman, Asep dan dan Nurihsan, Juantika. 2008.  “Program Dual Modes Sebagai Alternatif Peningkatan  Kualifikasi Akademik Guru Dalam Jabatan”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.
Moleong, Lexy J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mujid, Abdul. 2007. “Setelah Sertifikasi” diakses dari www.klinikpembelajaran.com pada 14 Januari 2008.
Mulyasa, 2007. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosadakarya.
Nurcahyo, Heru. 2008. “Model Pengembangan Kompetensi Mahasiswa Calon Guru Dalam Mengajar Bioteknologi Dengan Mengoptimalkan Pemanfaatan Media Pembelajaran Berbasis Komputer”. Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.
Rooijakkers, Ad. 1993. Mengajar dengan Sukses: Petunjuk untuk Merencanakan dan Menyampaikan Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
Rumini, Sri, dkk. 1997. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
Setyosari, Punaji. Pemanfaatan Teknologi Pendidikan Yang Relevan Bagi Daerah Terpencil. Makalah Konaspi 2008.
Soeparno. 1988. Media Pengajaran Bahasa. Klaten: Intan Pariwara.
Sukamto. 2004. Pengembangan Sistem Penilaian Untuk Sertifikasi Guru. Makalah. Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI). Yogyakarta.
Sunendar, Tatang. 2008. “Pentingnya Karya Tulis dalam Pengembangan Profesi Guru” diaksees dari www.lpmpjabar.go.id pada 18 Maret 2008.
Suparta, I Nengah. ”Melahirkan Guru Bermutu: Proses Berbasiskan Reward dan Punishment”. Makalah Konaspi 2008
Suryanto. 2003. Sertifikasi Profesi Guru. Jaminan Pengakuan Sekaligus Ancaman. Makalah Seminar. UNNES. Semarang.
Suwarna, dkk. 2005. Pengajaran Mikro: Pendekatan Praktis Menyiapkan Pendidik Profesional. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tidjan, dkk. 1997. Bimbingan dan Konseling Sekolah Menengah. Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta.
Widodo, Erna dan Mukhtar. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz.
Zamroni. 2008. ”Pendidikan Guru di Masa Depan”. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI di Universitas Pendidikan Ganesha tanggal 17-19 Nopember 2008.





[1] Sebagian isi makalah pernah dipresentasikan dalam sosialisasi terbatas penelitian Jarlit Bapeda DIY tanggal 6 Desember 2008
[2] Anggota tim Jarlit Bapeda DIY, pelajar master Universiti Kebangsaan Malaysia, staf pengajar UNY 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar