Sabtu, 12 Oktober 2013

PELESTARIAN BUDAYA DAN PEMERKASAAN BAHASA JAWA MELALUI KAJIAN MANUSKRIP KLASIK

PELESTARIAN BUDAYA DAN PEMERKASAAN BAHASA JAWA MELALUI KAJIAN MANUSKRIP KLASIK

Venny Indria Ekowati
Pensyara Universitas Negeri Yogyakarta
Pelajar Master Institut Alam dan Tamadun Melayu
Universiti Kebangsaan Malaysia


A.    Manuskrip Klasik Jawa

Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baried, 1994: 55). Suku bangsa Jawa merupakan salah satu suku bangsa yang mempunyai tradisi penulisan yang cukup kental sejak abad kesembilan. Manuskrip-manuskrip Jawa ini ditulis dengan aksara daerah, baik aksara Jawa maupun Arab Pegon. Menggunakan bahasa daerah baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun Jawa Baru. Manuskrip Jawa juga ditulis dalam berbagai media seperti lontar (ron tal ‘daun tal’ atau ‘daun siwalan’) dan dluwang. Sementara itu masih ada penggolongan jenis dluwang dan kertas yang lebih rinci, seperti kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas bergaris (Ismaun, 1996: 4). Kemudian pada pada abad ke-18 dan 19, kertas Eropa yang biasanya ditandai dengan adanya watermark dalam kertasnya, mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik.
Manuskrip klasik Jawa mempunyai isi yang beraneka ragam, meliputi beraneka bidang ilmu. Menurut Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10), manuskrip Jawa mengandung isi sebagai berikut: (1) keagamaan, (2) kebahasaan, (3) filsafat dan folklore, (4) mistik rahasia, (5) ajaran dan pendidikan moral, (6) mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) keturunan dan warga raja-raja, (8) bangunan dan arsitektur, (9) obat-obatan, (10) perbintangan, (11) ramalan, (12) kesastraan, kisah epik (kakawin), (13) sejarah (babad), dan (14) jenis-jenis lain yang  tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas. Berikut ini adalah contoh-contoh manuskrip Jawa koleksi berbagai lembaga.















Serat Ambya koleksi Kraton Surakarta     Serat Ambya koleksi Kraton Yogyakarta
(Saparinah, 2001: 58).                               (Riyadi, 2001: 67).

















Serat Rama lan Rejunawijaya                   Naskah Perang Jaya, koleksi pribadi
Koleksi Pura Pakualaman Yogyakarta     Salana, Astana Gunung Jati, Cirebon
(Setyawati, 2001: 81)                                (Pudjiastuti, 2001: 88)


                        Melalui kajian terhadap manuskrip klasik, akan didapatkan berbagai sumber pengetahuan yang memberikan gambaran terhadap peradaban masa lampau. Khususnya bahasa dan budaya yang berlaku dalam dalam masyarakat Jawa pada masa lalu. Makalah ini secara ringkas juga akan memberikan gambaran mengenai sistem bahasa, ejaan, dan budaya masyarakat Jawa pada masa lampau melalui salah satu manuskrip Jawa yang berjudul Serat Wicara Keras.
B.     Manuskrip Serat Wicara Keras
                        Serat Wicara Keras untuk selanjutnya disebut (SWK) merupakan salah satu manuskrip yang populer di Jawa. Manuskrip ini terdapat dalam banyak salinan. Satu salinan terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Behrend, 1997). Tiga salinan merupakan koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Behrend dan Pudjiastuti, 2001). Enam salinan tersimpan di Perpustakaan Pura Mangkunegaran Surakarta (Florida, 1993). Koleksi terlengkap terdapat di Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang menyimpan sebanyak delapan salinan seperti yang termuat dalam tabel berikut (Behrend, 1990).

No.
Judul Naskah
Kode
Hlm
1.
SWK (Kempalan Serat Warni-Warni (Kode A)
L 130 SK62 Rol. 131 No. 4
296-312
2.
SWK saha Serat Jayengbaya (Kode B)
L 353 PB.C.164 Rol. 143 No. 3
1-30
3.
Kempalan Serat Warni-Warni: Serat Ondhe SWK (kode C)
P 20 PB.A.236 Rol. 129 No. 7
514-566
4.
Serat Suluk Warni-Warni: SWK (Kode D)
P 26 PB.C.53 Rol. 96 No. 4
198-228
5.
Serat Warni-Warni: SWK (Kode E)
P 86 PB.C. 157 Rol. 130 No. 2
1-141
6.
Kidung Sisingir: Serat Hunde (Winastan SWK) (Kode F)
P 203 SK 172 Rol.107 No. 1
122-136
7.
Serat Primbon: SWK (Kode G)
Pr. 53 PB.A 61 Rol 95 No. 1
37-54
8.
Babad Pakepung saha Kempalan Serat Piwulang: SWK (Kode H).
SB. 127S 124 Rol. 28 No. 7
90-119v

SWK dikarang oleh pujangga kraton Surakarta yang bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Yasadipura II untuk selanjutnya disebut YS II. Beliau merupakan kakek pujangga besar Jawa, R. Ng. Ranggawarsita. Setelah melalui pengkajian terhadap tahun penyalinan, baik berdasarkan keterangan dalam maupun luar teks, didapatkan kesimplan bahwa SWK telah ditulis selepas tahun 1789 dan mengalami proses penyalinan berulang kali sampai tahun  1921 M. Berikut ini contoh SWK yang terdapat di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.




IMG_1856.JPGcrop 3.10.jpgCROP 2.5.jpg











crop 6.1.jpgIMG_1966.JPGCrop 1.jpg








 


crop 5.1.jpgcrop 4.8.jpg












SWK ditulis dengan latar belakang kurang puasnya penulis SWK terhadap pemerintahan raja dan keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Oleh karenanya, YS II sebagai penulis mengeluarkan kritikan-kritikan pedas yang memprotes raja, kaum bangsawan, dan juga masyarakat yang dianggapnya kurang baik.

C.    Pelestarian Bahasa dalam Serat Wicara Keras
            SWK mencerminkan penggunaan bahasa dan kosakata yang dikenal pada tahun 1789-1921 M. SWK digubah dalam bahasa Jawa baru dengan tingkat tutur ngoko. Banyak kosakata dalam SWK yang sudah tidak lazim digunakan pada masa sekarang ini. Beberapa contoh kata yang sudah tidak lazim digunakan antara lain dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

No.
Kosakata yang Tidak Lazim lagi Digunakan
Kosakata yang Masih Lazim Digunakan
Arti
Bait
1.       
alakua grami
dagang
berdagang
1
2.       
kaduk
luwih-luwih
berlimpah
5
3.       
guwaya
rai
raut muka
9
4.       
cala
cacat
cacat
14
5.       
suprandene
mulane
oleh karena itu
30

Selain contoh-contoh di atas, masih banyak kosakata yang sudah tidak lazim lagi digunakan pada masa sekarang ini. Melalui kajian manuskrip klasik diharapkan kosakata-kosakata seperti dalam contoh di atas masih dikenal dan dapat menambah perbendaharaan kosakata bahasa Jawa.
                        Selain penggunaan kosakata yang sudah tidak lazim, SWK sebagai salah satu karya sastra juga menggunakan bahasa indah, baik yang berupa ungkapan maupun penggunaan aspek-aspek sastra dalam sastra Jawa. Beberapa aspek sastra Jawa yang digunakan dalam SWK dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:




Berikut ini pengertian istilah-istilah yang tersebut dalam bagan di atas.
1.      Tembung Saroja
Tembung Saroja arti harafiahnya adalah kata ganda, yaitu dua kata yang sama atau hampir sama maknanya yang lazimnya digunakan secara bersamaan. Misalnya bodho muda. Kata bodho = bodoh, muda = bodoh. Jika digabung menjadi bodho muda yang bererti sangat bodoh atau lumayan bodoh (Padmosoekatjo, 1953: 24).
2.      Tembung Garba atau Sandi
Tembung garba yaitu dua kata atau lebih yang dirangkai menjadi satu, sehingga jumlah suku katanya berkurang. Tembung garba merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh pengarang untuk memendekkan jumlah suku kata, sehingga dapat memenuhi aturan jumlah suku kata dalam satu baris tembang (guru wilangan).
3.      Sasmita Tembang
Sasmita tembang yaitu kata, kelompok kata, ataupun kalimat yang memberi petunjuk tentang nama pupuh tembang yang akan digunakan berikutnya.
4.      Pemanjangan Suku Kata
Salah satu aturan dalam penulisan tembang tradisional Jawa ialah adanya aturan guru wilangan. Aturan ini mengatur jumlah suku kata yang mesti ditaati oleh penulis tembang. Demi memenuhi aturan ini, seorang pengarang mesti menguasai teknik-teknik menulis tembang. Salah satu teknik yang sering digunakan untuk memenuhi aturan guru wilangan ialah pemanjangan suku kata. Teknik ini digunakan dengan cara memanjangkan suatu kata yang mengandungi dua buah konsonan yang letaknya berurutan dengan menambahkan vokal di antara dua buah konsonan tersebut.
5.      Penggunaan Kosakata Kawi

Kosakata Kawi merupakan kata-kata yang berasal dari kosakata dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuna yang sampai saat ini masih dapat ditemukan dalam kosakata bahasa Jawa Baru, utamanya dalam sastera Jawa yang berbentuk tembang. Menurut S. Padmosoekotjo (1953: 18), seorang pengarang tembang yang baik wenang menggunakan bahasa Kawi. Wenang dalam hal ini berarti boleh menggunakan kata-kata Kawi, namun boleh juga tidak menggunakan.

6.      Penggunaan Purwakanthi

Purwakanthi merupakan salah satu permainan bunyi yang sangat sering digunakan dalam tembang. Purwakanthi dibentuk dengan cara menggandengkan baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan yang sudah disebut dalam bahagian kalimat yang berada di depan. Purwakanthi dapat disamakan dengan persajakan. Subalidinata (1981: 60-62), menyatakan terdapat tiga macam purwakanthi, yaitu purwakanthi guru swara, guru sastra, dan lumaksita.
7.      Penggunaan Perumpamaan atau Istilah Khusus
Perumpamaan-perumpamaan atau istilah khusus yang dipakai oleh pengarang dalam menyampaikan idenya agar terkesan lebih indah dan  bermakna. Biasanya berupa peribahasa, ungkapan, dan lain-lain. Berikut ini contoh-conth penggunaan aspek sastra dalam SWK.
No.
Aspek Sastra
Contoh
Letak
1.       
Tembung Saroja
suprandene kena ing papa cintraka masih lagi tetap merasakan kesengsaraan’
35, 9
2.       
Tembung Garba
sukeng (dari kata suka + ing) tyas mangalembana ‘semua menyukai dan menyanjungnya’
153, 6
3.       
Sasmita Tembang
branta (sasmita tembang Asmaradana) utama jalma branta manusia utama dan manusia yang agung’
1, 1
4.       
Pemanjangan Suku Kata
slamete menjadi selamete
2, 2
5.       
Penggunaan Kosakata Bahasa Kawi
narima mring kang murba terimalah itu sebagai karunia Yang Kuasa’
13, 6
6.       
Purwakanthi Guru Sastra
ting kalethek ting kuthuwil ting pethakil ‘dipenuhi kotoran, dipenuhi hasrat untuk jahil dan bersikap tidak sopan’
99, 3
7.       
Perumpamaan
batin iku minangka bumi, kang gumelar aneng alam donya, iya aneng sira kabeh, yen sira ayun weruh ‘batin manusia seumpama bumi, yang digelar di dunia ini, dan berada di dalam diri kamu sekalian, jika kamu mampu melihatnya’
211, 1-4

D. Penggunaan Ejaan Khusus
            Selain dapat mengidentifikasi penggunaan bahasa pada masa lampau, penggunaan ejaan juga dapat dirunut menggunakan teks yang termuat dalam manuskrip. Beberapa ejaan khusus yang dapat ditemukan pada manuskrip klasik antara lain:
1.      Penggunaan aksara lampah
Sistem ejaan ini umumnya digunakan pada manuskrip Jawa. Aksara lampah merupakan sistem ejaan yang memungkinkan untuk melakukan reduplikasi konsonan antara dua kata. Yaitu kata yang terletak lebih awal dan berakhir dengan konsonan, sedangkan kata berikutnya berawal dengan vokal (Behrend, 1995: 651). Misalnya kalimat dheweke seneng asin (dia menyukai rasa asin), akan menjadi dheweke seneng ngasin.
2.      Penggunaan konsonan median rangkap
Yaitu sistem ejaan khas dalam manuskrip Jawa yang memungkinkan adanya pengulangan konsonan yang diapit dua vokal. Misalnya kata kena (terkena), akan ditulis dalam aksara Jawa menjadi kenna. Kata sepi menjadi seppi.

E. Pelestarian Budaya Melalui Manuskrip Klasik Jawa
            Melalui pengkajian manuskrip Jawa, maka seolah-olah kita akan terbawa dalam suasana atau konteks pada saat manuskrip tersebut ditulis. Konteks tersebut juga akan membawa kita dalam suatu sistem budaya yang dianut oleh masyarakat pada masa tersebut. Salah satu budaya yang cukup unik yang terdapat dalam SWK adalah budaya kritik. Kritik disampaikan secara lugas, sehingga berbeda dengan kritik yang selama ini disampaikan oleh masyarakat Jawa. Kritik disampaikan oleh YS II, pujangga kraton Surakarta kepada rajanya sendiri. Juga kepada para bangsawan dan kalangan istana. Namun YS II juga memberikan pujian terhadap tokoh yang dianggapnya ideal. Tokoh-tokoh yang dikritik dan dipuji oleh YS II dalam SWK dapat dilihat dalam tabel berikut:



No.
Nama Tokoh
Pekerjaan
Contoh
Baik
Buruk
1.       
Kyai Ageng Sela
pertapa, pemimpin agama

2.       
Bondan Kejawan
ketua desa, tokoh legendari yang menurunkan raja-raja Mataram

3.       
Wiradigda
pengulu kraton (penasihat PB IV)

4.       
Nursaleh
pengulu kraton (penasihat PB IV)

5.       
Bahman
pengulu kraton (penasihat PB IV)

6.       
Sujanapura
Bupati

7.       
Ki Ageng Abdul Mukyi
tokoh agama

8.       
Rangga Madiun
Bupati Madiun

9.       
Sri Sultan HB II
Raja Kraton Ngayogyakarta

10.   
Pandhawa
Tokoh pewayangan

11.   
Kurawa
Tokoh pewayangan

12.   
Mangkubumi
Raja I Keraton Ngayogyakarta

13.   
Kyai Murma Kepundhung
pemuka agama

14.   
Panengah
pengulu kraton (penasihat PB IV)

15.   
Patih Suwanda
Patih

16.   
Patih Sindureja
Patih

17.   
Pringgalaya
Patih

18.   
Kyai Dipati Cakraningrat
Bupati

19.   
Jayaningrat Pekalongan
Bupati

20.   
Kartanegara
Bupati

21.   
Citrasoma
Bupati


22.   
Rangga Prawira Sentika dari Jipang
punggawa

23.   
Pangran Pakuningrat
punggawa

24.   
Suryanegara
punggawa

25.   
Raden Supama
punggawa

26.   
Kyai Tumenggung Puspanata
pedagang

27.   
Mangun Oneng Pati
Adipati


Kritik yang disampaikan oleh YS II tersebut tentunya juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial budaya yang sedang berlaku di Surakarta pada masa karya tersebut ditulis. Keadaan masyarakat Surakarta semasa pemerintahan Raja Pakubuwana (PB) IV cukup menyedihkan.  Karya itu juga adalah keluhan hati YS II karena tidak puas bukan saja dengan rajanya, tetapi juga pegawai kerajaan yang menyebabkan terjadinya pergolakan politik. Sebagai pujangga kerajaan, YS II yang mempunyai nilai moralnya yang didapati dari latar belakang keluarga, pendidikan di pesantren, lebih-lebih lagi ajaran agama Islam itu, merasa muak, bosan di satu pihak, dan sangat perduli kepada penderitaan dan penindasan rakyat biasa yang miskin di satu pihak yang lain. Namun, YS II tidak mempunyai kuasa menentang pihak pemerintah yang korup, lemah, dan hanya mementingkan kepentingan masing-masing. Disebabkan simpati kepada rakyat, YS II bertanggung jawab untuk memberikan nasihat kepada raja. Sebagai penulis, maka senjatanya adalah pena.
Latar belakang penulisan SWK ini sesuai dengan pendapat Moertono (1985) yang menyatakan bahwa naskah ajaran moral yang ditulis pada masa PB IV itu telah mencerminkan keadaan sosial dan masyarakat pada masanya. Keadaan Surakarta yang menyedihkan itu telah juga diceritakan Ranggawarsita, cucu YS II, dalam Serat Jayabaya. yang menyatakan masa pemerintahan PB IV itu masyarakat Surakarta adalah paling mundur dan menyedihkan. Pada masa ini, banyak pemuda sudah meninggalkan nilai moral, dan terjadi perebutan di kerajaan untuk kepentingan diri. Raja sendiri juga kurang bersikap tegas.
            SWK ditulis ketika PB IV menjadi raja di Surakarta. Dalam tempoh pemerintahannya dari tahun 1788-1820 M, perilaku raja ini telah merangsang YS II menulis karya itu dari segi positif dan negatif. YS II sejak kecil telah hidup di lingkungan istana. Setelah tamat pendidikannya di pesantren (usia 13-15 tahun), sesuai dengan kebiasaan masyarakat dewasa itu, YS II kembali ke istana dan mulai menulis bersama ayahnya. YS II juga telah banyak membaca karya ayahnya. Antara yang telah meninggalkan kesan yang kuat sehinggakan telah mengubah pemikiran YS II terhadap rajanya ialah Babad Giyanti yang mengandung kisah intrik politik di Pulau Jawa semasa peristiwa palihan nagari atau pembahagian Mataram menjadi dua pada tahun 1755 M. Raden Mas Said dalam karya itu telah ditempatkan pada kedudukan yang akan membuatnya menjadi Mangkunegara I sebagai pahlawan. Selain itu, karya yang ditulis YS I pada periode 1746-1757 itu juga menempatkan Sultan Mangkubumi sebagai pahlawan, tetapi PB II dan PB III digambarkan dengan kurang bagus (Ricklefs 2002).

            YS II menggambarkan Sultan Mangkubumi sebagai tokoh yang berkeperibadian baik dalam bait 92-95 dalam SWK yang dipetik di bawah ini:
Abot sangganing pupuh, duk alame swargi Kang Sinuwun, Mangkubumi yen prang lan budine kang ning, kalethek namung wong telu, kang dadi kondhang palugon. Suprandene melangkruk, sabab pikire sampun gumathuk, bebudene santosa datan darengki, weruh wekasaning dunung, dadining pakewuh katon. Patitis yen tumanduk, tamtu dadi lamun duwe ucul, gendholane metu saking dalil kadis, taberi alenguk-lenguk, ngiling-ilingi primbon. Putus abobot laku, bakal nistha utama sor unggul, sakdurunge sedaya wus den kawruhi, gegadhangane ngendhukur, ing mengko oyot sarandhon (SWK bait 92- 95).

Ertinya:
Berat yang disangga oleh pupuh, pada saat Sang Sinuwun masih hidup, Mangkubumi berperang dengan budinya yang bening, hanya dikotori oleh tiga orang yang menjadi terkenal karena ketidaktahuannya. (Walaupun dikotori), tetap mampu duduk di tempat yang tinggi, karena fikirannya sudah menyatu, budi pekertinya baik dan bukan pendengki. Mampu melihat akhir daripada semua masalah, rasa segan pun terlihat. Berhati-hati jika bertindak, jika akan terlepas, maka ianya mesti berpegangan kepada dalil dan hadis. Rajin dan telaten, suka duduk menyendiri dan menyepi. Membaca kitab primbon. Sudah selesai dan pantas, sehingga setiap tingkah lakunya berbobot, ingin menjadi nista atau utama, ingin rendah atau tinggi, sebelumnya semua sudah diketahui. Cita-cita yang sangat banyak, kokoh, seumpama akar pohon randhu.

Dalam petikan di atas, Mangkubumi dinilai YS II sebagai pemimpin yang mempunyai prinsip. Ini terbukti daripada kemampuannya mengendalikan diri walaupun terjadi kekecohan dan intrik di istana dengan melibatkan banyak pengahasut. Raja itu mampu berfikir selain memandang jauh ke depan sehingga disegani semua orang (SWK bait 92), justru amat berhati-hati ketika bertindak yang lazimnya berpandukan pedoman dalil dan hadis. Selain itu, raja itu juga  menyendiri dan suka membaca primbon. Sikapnya tersebut penting dan besar maknanya kepada dirinya sebagai seorang raja, dan juga seorang pemimpin.. Yang menarik adalah cita-citanya yang tinggi dan kokoh laksana akar pohon randu. YS II merasa perumpamaan pohon randu layak digunakan kepada raja itu, karena pohon ini mempunyai akar yang kuat menyerap air dan buahnya bermanfaat untuk membuat alas tidur. Di bawah ini petikan gambar akar pohon randu untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai perumpamaan YS II itu.












Pohon randhu
Sumber: Randugede (2008)

Sedikit sebanyak pembawaan, pandangan dan fikiran YS II sudah terpengaruh oleh pandangan pribadi ayahnya yang mengawali kritikannya terhadap raja yang menjadi penaungnya. Walaupun kritikan itu bukanlah perkara baru, karena biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa kiasan, tetapi kritikan YS II kepada rajanya adalah secara terbuka. Menurut amalan turun-temurun, kritikan pujangga istana yang dilantik raja itu adalah tidak patut, lagipun kedudukan raja dalam masyarakat feodal itu adalah di atas segala-galanya, lagipun tutur kata daripada raja adalah segala-galanya: pujian dan hukuman. Raja, menurut kepercayaan turun temurun dianggap sebagai wakil wewakiling Pangeran Kang Ageng atau wakil Tuhan yang mempunyai tanda-tanda supranatural yang tidak mungkin dipunyai orang lain, jauh sekali bedanya daripada rakyat biasa.
Tetapi, disebabkan angin pendemokrasian, pembebasan dan pembaratan sudah mula bertiup, maka dialami masyarakat Jawa pada pinggir abad ke-19, kekuatan wahyu itu semakin lama semakin luntur. Selain itu, semasa YS II, raja Jawa yang dahulunya mempunyai kuasa mutlak itu sudah tidak sedemikian lagi dengan adanya campur tangan pihak Belanda dalam hal ikhwal politik (Kawiwara 2010). Selain itu, keperibadian raja dengan sifat dan tingkah lakunya yang berbeda dari raja Jawa masa lalu sudah membuatnya kurang disegani. YS II nampak sendiri perubahan yang berlaku, maka telah terpanggil untuk mengkritik hal ikhwal, perbuatan, orang dan akibat yang tidak disenanginya. Terjadinya hal, perbuatan, orang, dan akibat yang tidak disenangi itu adalah karena kelemahan rajanya. Oleh karena itu, kritik sosial dalam karya YS II  itu  boleh juga ditafsir sebagai kritikannya kepada rajanya sebagai ketua yang paling besar kuasanya dan ”pemimpin” yang sepatutnya dapat memimpin para pejabat kerajaan untuk memimpin rakyatnya. Tetapi, tidaklah sedemikian yang berlaku. Kritikan YS II yang keras, tajam dan dibuat secara terbuka itu  juga disebabkan sikapnya yang tidak  simpatik kepada generasi PB, sejak PB II dan III. Disebabkan keadaan hidup rakyat semakin memburuk dalam masa pemerintahan itu, maka kesemua hal yang tidak disenanginya itu telah dijadikan peluru yang dilepaskan melalui senjata pena yang ada di dalam tangannya. Kritikan utama YSII kepada rajanya adalah karena raja itu didapati kurang mampu, lemah, maka tidak boleh memerintah negara dengan baik.  
Kritikan pertama daripada YS II sehubungan itu dapat dilihat dalam bait 33 naskah SWK yang menyiratkan sikap politik YS II yang dikatakan tidak simpatik itu:
aja dumeh yen awirya, anak putune wong mukti, senadyan mengku negara, aja sumakean edir, tan nganggo dugi-dugi, sapa sira sapa ingsun, pan iku bebakalan, atombok kaki lan nini, kang wus becil panggonane melu kambah (SWK bait 33).

Ertinya:
Jangan mentang-mentang keturunan luhur, anak cucu orang berjaya, walaupun penguasa negara tidak boleh seenaknya dan sombong. Tidak memakai perkiraan, siapa kamu dan siapa saya. Itulah yang pada akhirnya akan mencelakakan dan mencemarkan nama kakek dan nenek yang sudah berada di tempat yang baik. Ikut merasakan akibatnya.
           
                        Dalam masyarakat Jawa, orang yang semakin tinggi kedudukannya dianggap semakin pandai, sekaligus semakin sensitif. Sesuai dengan ungkapan dhupak bujang, esem mantri, semu bupati. Pada bait di atas terdapat ungkapan  yang berbunyi aja senadyan mengku negara, aja sumangkeyan edir ‘jangan mentang-mentang menguasai negara, menjadi sombong’. Tetapi, ternyata YS II sudah mengkritik rajanya secara terbuka. Dalam konteks sosio-politik seperti yang tergambar dalam SWK, raja yang dimaksudkan itu tidak lain daripada PB IV. Berasaskan bait di atas, YS II telah juga memindahkan keadaan sosial yang buruk itu bersumber dari sifat PB IV yang sewenang-wenang, sombong, serta menjatuhkan nama baik leluhur dan nenek moyangnya yang telah meninggal.
            YS II juga mengkritik  bangsawan yang tinggal di keraton karena selalu bertengkar. Sebahagian besar bangsawan merasa bingung karena berada dalam masa peralihan  kuasa daripada PB III kepada PB IV. Keadaan Surakarta pada masa tersebut semakin tidak menentu. Ketidaktentuan itu bermula daripada pembahagian wilayah kerajaan Mataram serta tuntutan Belanda ke atas tanah kerajaan yang telah membuat wilayah jajahan Surakarta semakin sempit. Berdepan dengan keadaan politik yang juga disebabkan campur tangan daripada pihak Belanda, sudah tentu sebahagian bangsawan didapati semakin gelisah. Mereka khawatir tidak akan mendapat tanah untuk menyarai keluarga besar mereka, lebih-lebih lagi mempertahankan gaya hidup mereka yang mewah sebagai orang kaya dan orang yang berkuasa.

F. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa SWK memuat keanekaragaman bahasa dan budaya pada masa lampau. Dengan pengkajian bahasa dan budaya diharapkan dapat memperkuat jati diri bangsa dan menambah kekayaan bahasa dan budaya. Budaya tersebut tidak hanya unik, tetapi sebagian juga masih relevan dengan keadaan masyarakat pada masa sekarang ini. Naskah Jawa merupakan suatu bukti tingkat peradaban masyarakat Jawa. Namun sayangnya naskah-naskah Jawa pada masa sekarang ini lebih banyak yang tersimpan, berdebu, dan berangsur-angsur rusak sebelum diketahui kandungannya. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat agar kekayaan dan kearifan lokal yang terkandung dalam naskah Jawa tidak hilang begitu saja. Diharapkan agar semua fihak dapat lebih peduli terhadap kewujudan naskah Jawa sehingga dapat diambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan naskah. Baik penyelamatan secara fisik dengan cara digitalisasi, mikrofilm, dan reproduksi, maupun penyelamatan kandungan naskah dengan cara melakukan lebih banyak penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, 1994. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Behrend, T.E. & Pudjiastuti, Titik (pnyt.). 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan 3B: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T.E. (pnyt.). 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d' Extreme-Orient.
Behrend, T.E. 1995. Serat Jatiswara-Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930 (terj. A. Ikram). Jakarta: INIS.
Florida, N.K. 1993. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts: Introduction and Manuscripts of The Karaton Surakarta Vol. 1. Ithaca: Cornell University South East Asia Program.
Ismaun, Banis. 1996. Mengenal ragam bahasa Jawa dan pengembangannya. Kertas Kerja Kongres Bahasa Jawa II 1996. Ajuran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY. Batu, Malang, 22-26 Oktober.
Kawiwara. 2010. Jawa Kuno Jawa Islam Surakarta awal Surakarta akhir karya emas masa gemilang. http://www.macapat.4t.com/alur.htm [30 April 2010].
Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad VXI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa (Rancangan Kesusasteraan Jawa). Yogyakarta: Soejadi.
Pudjiastuti, Titik. 2001. Madura. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, hlm. 86-89. Jakarta: Balai Pustaka.
Randugede. 2008. Randu gede. http://cahrandugede.wordpress.com/2008/11/09/hello-world [12 Agustus 2010].
Riyadi, S. 2001. Kasultanan. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, hlm. 61-69. Jakarta: Balai Pustaka.
Saparinah, Endang Siti. 2001. Kasunanan. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, hlm. 54-61. Jakarta: Balai Pustaka.
Setyawati, Kartika. 2001. Pakualaman. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum, hlm. 76-83. Jakarta: Balai Pustaka.
Soebadio, Haryati. 1991. “Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang Ilmu”. Penerbitan Ilmiah FS UI, 12, hlm. 1-17.
Subalidinata, R.S. 1981. Seluk Beluk Kesastraan Jawa. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Yasadipura II. 1889. Serat Warni-warni: Serat Wicara Keras (Macam-macam Naskhah: Naskhah Wicara Keras). MSS. Cod. P 86 PB.C. 157 Rol. 130 No. 2, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.
Yasadipura II. 1908-1921. Serat Suluk Warni-warni: Serat Wicara Keras (Macam-macam Suluk: Naskhah Wicara Keras). MSS. Cod. P 26 PB.C.53 Rol. 96 No. 4, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.
Yasadipura II. Kidung Sisingir: Serat Hunde (Winastan Serat Wicara Keras) (Kidung Sisingir: Serat Hunde Disebut Naskhah Wicara Keras). MSS. Cod. P 203 SK 172 Rol.107 No. 1, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.
Yasadipura II. Serat Primbon: Serat Wicara Keras. MSS. Cod. Pr. 53 PB.A 61 Rol 95 No. 1, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.
Yasadipura II. t.th. Kempalan Serat Warni-warni: Serat Ondhe Wicara Keras (Kumpulan Naskhah: Serat Ondhe Wicara Keras). MSS. Cod. P 20 PB.A.236 Rol. 129 No. 7, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.
Yasadipura II. t.th. Serat Wicara Keras dalam Kempalan Serat Warni-warni (Serat Wicara Keras dalam Kumpulan Macam-macam Naskhah). MSS. Cod. L 130 SK62 Rol. 131 No. 4, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.

Yasadipura II. t.th. Serat Wicara Keras saha Serat Jayengbaya (Serat Wicara Keras dan Serat Jayengbaya). MSS. Cod. L 353 PB.C.164 Rol. 143 No. 3, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,  Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar