PELESTARIAN BUDAYA
DAN PEMERKASAAN BAHASA JAWA MELALUI KAJIAN MANUSKRIP KLASIK
Venny Indria Ekowati
Pensyara Universitas Negeri Yogyakarta
Pelajar Master Institut Alam dan Tamadun Melayu
Universiti Kebangsaan Malaysia
Email: indiewara@yahoo.com
A.
Manuskrip
Klasik Jawa
Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai
ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Baried,
1994: 55). Suku bangsa Jawa merupakan salah satu suku bangsa yang mempunyai
tradisi penulisan yang cukup kental sejak abad kesembilan. Manuskrip-manuskrip
Jawa ini ditulis dengan aksara daerah, baik aksara Jawa maupun Arab Pegon.
Menggunakan bahasa daerah baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun Jawa
Baru. Manuskrip Jawa juga ditulis dalam berbagai media seperti lontar (ron
tal ‘daun tal’ atau ‘daun siwalan’) dan dluwang. Sementara itu masih
ada penggolongan jenis dluwang dan kertas yang lebih rinci, seperti
kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas bergaris
(Ismaun, 1996: 4). Kemudian pada pada abad ke-18 dan 19, kertas Eropa yang
biasanya ditandai dengan adanya watermark
dalam kertasnya, mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih
baik.
Manuskrip klasik Jawa mempunyai isi yang beraneka ragam,
meliputi beraneka bidang ilmu. Menurut Pigeaud (dalam Soebadio 1991: 10),
manuskrip Jawa mengandung isi sebagai berikut: (1) keagamaan, (2) kebahasaan,
(3) filsafat dan folklore, (4) mistik rahasia, (5) ajaran dan pendidikan moral,
(6) mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) keturunan dan warga raja-raja,
(8) bangunan dan arsitektur, (9) obat-obatan, (10) perbintangan, (11) ramalan,
(12) kesastraan, kisah epik (kakawin), (13) sejarah (babad), dan (14)
jenis-jenis lain yang tidak tercakup
dalam kategori-kategori di atas. Berikut ini adalah contoh-contoh manuskrip
Jawa koleksi berbagai lembaga.
Serat Ambya koleksi Kraton Surakarta Serat
Ambya koleksi Kraton Yogyakarta
(Saparinah, 2001: 58). (Riyadi, 2001: 67).
Serat Rama lan Rejunawijaya Naskah Perang Jaya, koleksi pribadi
Koleksi
Pura Pakualaman Yogyakarta Salana,
Astana Gunung Jati, Cirebon
(Setyawati,
2001: 81) (Pudjiastuti,
2001: 88)
Melalui kajian terhadap
manuskrip klasik, akan didapatkan berbagai sumber pengetahuan yang memberikan
gambaran terhadap peradaban masa lampau. Khususnya bahasa dan budaya yang
berlaku dalam dalam masyarakat Jawa pada masa lalu. Makalah ini secara ringkas
juga akan memberikan gambaran mengenai sistem bahasa, ejaan, dan budaya
masyarakat Jawa pada masa lampau melalui salah satu manuskrip Jawa yang
berjudul Serat Wicara Keras.
B.
Manuskrip
Serat Wicara Keras
Serat Wicara Keras untuk
selanjutnya disebut (SWK) merupakan
salah satu manuskrip yang populer di Jawa. Manuskrip ini terdapat dalam banyak
salinan. Satu salinan terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
(Behrend, 1997). Tiga salinan merupakan koleksi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (Behrend dan Pudjiastuti, 2001). Enam salinan tersimpan di Perpustakaan
Pura Mangkunegaran Surakarta (Florida, 1993). Koleksi terlengkap terdapat di
Perpustakaan Museum Sonobudoyo Yogyakarta yang menyimpan sebanyak delapan
salinan seperti yang termuat dalam tabel berikut (Behrend, 1990).
No.
|
Judul Naskah
|
Kode
|
Hlm
|
1.
|
SWK (Kempalan Serat Warni-Warni (Kode A)
|
L 130 SK62 Rol. 131 No. 4
|
296-312
|
2.
|
SWK saha Serat Jayengbaya (Kode B)
|
L 353 PB.C.164 Rol. 143 No. 3
|
1-30
|
3.
|
Kempalan Serat Warni-Warni: Serat Ondhe SWK (kode C)
|
P 20 PB.A.236 Rol. 129 No. 7
|
514-566
|
4.
|
Serat Suluk Warni-Warni: SWK (Kode D)
|
P 26 PB.C.53 Rol. 96 No. 4
|
198-228
|
5.
|
Serat Warni-Warni: SWK (Kode E)
|
P 86 PB.C. 157 Rol. 130 No. 2
|
1-141
|
6.
|
Kidung Sisingir: Serat Hunde (Winastan SWK) (Kode F)
|
P 203 SK 172 Rol.107 No. 1
|
122-136
|
7.
|
Serat Primbon: SWK (Kode G)
|
Pr. 53 PB.A 61 Rol 95 No. 1
|
37-54
|
8.
|
Babad Pakepung saha Kempalan Serat Piwulang: SWK
(Kode H).
|
SB. 127S 124 Rol. 28 No. 7
|
90-119v
|
SWK
dikarang oleh pujangga kraton Surakarta yang bernama Raden Ngabehi (R. Ng.)
Yasadipura II untuk selanjutnya disebut YS II. Beliau merupakan kakek pujangga
besar Jawa, R. Ng. Ranggawarsita. Setelah melalui pengkajian terhadap tahun
penyalinan, baik berdasarkan keterangan dalam maupun luar teks, didapatkan
kesimplan bahwa SWK telah ditulis selepas tahun 1789 dan mengalami
proses penyalinan berulang kali sampai tahun
1921 M. Berikut ini contoh SWK yang
terdapat di Museum Sonobudoyo Yogyakarta.
SWK ditulis dengan latar belakang kurang puasnya
penulis SWK terhadap pemerintahan
raja dan keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Oleh karenanya, YS II
sebagai penulis mengeluarkan kritikan-kritikan pedas yang memprotes raja, kaum
bangsawan, dan juga masyarakat yang dianggapnya kurang baik.
C.
Pelestarian
Bahasa dalam Serat Wicara Keras
SWK mencerminkan penggunaan
bahasa dan kosakata yang dikenal pada tahun 1789-1921 M. SWK digubah dalam bahasa Jawa baru dengan tingkat tutur ngoko. Banyak kosakata dalam SWK yang sudah tidak lazim digunakan pada
masa sekarang ini. Beberapa contoh kata yang sudah tidak lazim digunakan antara
lain dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
No.
|
Kosakata yang Tidak Lazim lagi Digunakan
|
Kosakata yang Masih Lazim Digunakan
|
Arti
|
Bait
|
1.
|
alakua grami
|
dagang
|
berdagang
|
1
|
2.
|
kaduk
|
luwih-luwih
|
berlimpah
|
5
|
3.
|
guwaya
|
rai
|
raut
muka
|
9
|
4.
|
cala
|
cacat
|
cacat
|
14
|
5.
|
suprandene
|
mulane
|
oleh
karena itu
|
30
|
Selain contoh-contoh di atas, masih banyak
kosakata yang sudah tidak lazim lagi digunakan pada masa sekarang ini. Melalui
kajian manuskrip klasik diharapkan kosakata-kosakata seperti dalam contoh di
atas masih dikenal dan dapat menambah perbendaharaan kosakata bahasa Jawa.
Selain
penggunaan kosakata yang sudah tidak lazim, SWK
sebagai salah satu karya sastra juga menggunakan bahasa indah, baik yang
berupa ungkapan maupun penggunaan aspek-aspek sastra dalam sastra Jawa.
Beberapa aspek sastra Jawa yang digunakan dalam SWK dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Berikut ini pengertian istilah-istilah yang
tersebut dalam bagan di atas.
1.
Tembung
Saroja
Tembung
Saroja arti harafiahnya adalah kata ganda, yaitu dua kata yang sama atau
hampir sama maknanya yang lazimnya digunakan secara bersamaan. Misalnya bodho muda. Kata bodho = bodoh, muda =
bodoh. Jika digabung menjadi bodho muda yang
bererti sangat bodoh atau lumayan bodoh (Padmosoekatjo, 1953: 24).
2.
Tembung Garba atau Sandi
Tembung garba yaitu dua kata
atau lebih yang dirangkai menjadi satu, sehingga jumlah suku katanya berkurang.
Tembung garba merupakan salah satu
cara yang dilakukan oleh pengarang untuk memendekkan jumlah suku kata, sehingga
dapat memenuhi aturan jumlah suku kata dalam satu baris tembang (guru wilangan).
3.
Sasmita Tembang
Sasmita tembang yaitu kata,
kelompok kata, ataupun kalimat yang memberi petunjuk tentang nama pupuh tembang yang akan digunakan
berikutnya.
4.
Pemanjangan
Suku Kata
Salah satu aturan dalam penulisan tembang tradisional Jawa ialah adanya
aturan guru wilangan. Aturan ini
mengatur jumlah suku kata yang mesti ditaati oleh penulis tembang. Demi memenuhi aturan ini, seorang pengarang mesti
menguasai teknik-teknik menulis tembang. Salah
satu teknik yang sering digunakan untuk memenuhi aturan guru wilangan ialah pemanjangan suku kata. Teknik ini digunakan
dengan cara memanjangkan suatu kata yang mengandungi dua buah konsonan yang
letaknya berurutan dengan menambahkan vokal di antara dua buah konsonan
tersebut.
5.
Penggunaan
Kosakata Kawi
Kosakata Kawi merupakan kata-kata yang berasal dari kosakata dalam bahasa
Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuna yang sampai saat ini masih dapat ditemukan
dalam kosakata bahasa Jawa Baru, utamanya dalam sastera Jawa yang berbentuk tembang. Menurut S. Padmosoekotjo (1953:
18), seorang pengarang tembang yang
baik wenang menggunakan bahasa Kawi. Wenang dalam hal ini berarti boleh
menggunakan kata-kata Kawi, namun boleh juga tidak menggunakan.
6.
Penggunaan Purwakanthi
Purwakanthi
merupakan salah satu permainan bunyi yang
sangat sering digunakan dalam tembang.
Purwakanthi dibentuk dengan cara menggandengkan baik bunyi vokal maupun
bunyi konsonan yang sudah disebut dalam bahagian kalimat yang berada di depan. Purwakanthi dapat disamakan dengan
persajakan. Subalidinata (1981: 60-62), menyatakan terdapat tiga macam purwakanthi, yaitu purwakanthi guru swara, guru sastra, dan lumaksita.
7.
Penggunaan Perumpamaan atau Istilah
Khusus
Perumpamaan-perumpamaan atau istilah khusus
yang dipakai oleh pengarang dalam menyampaikan idenya agar terkesan lebih indah
dan bermakna. Biasanya berupa peribahasa,
ungkapan, dan lain-lain. Berikut ini contoh-conth penggunaan aspek sastra dalam
SWK.
No.
|
Aspek Sastra
|
Contoh
|
Letak
|
1.
|
Tembung Saroja
|
suprandene kena ing papa
cintraka ‘masih lagi tetap
merasakan kesengsaraan’
|
35, 9
|
2.
|
Tembung
Garba
|
sukeng
(dari kata suka + ing) tyas mangalembana ‘semua menyukai dan menyanjungnya’
|
153,
6
|
3.
|
Sasmita
Tembang
|
branta (sasmita tembang Asmaradana) utama jalma ‘branta manusia utama dan manusia yang agung’
|
1,
1
|
4.
|
Pemanjangan
Suku Kata
|
slamete menjadi selamete
|
2,
2
|
5.
|
Penggunaan
Kosakata Bahasa Kawi
|
narima mring kang murba ‘terimalah itu sebagai karunia Yang
Kuasa’
|
13,
6
|
6.
|
Purwakanthi
Guru Sastra
|
ting kalethek ting kuthuwil
ting pethakil ‘dipenuhi
kotoran, dipenuhi hasrat untuk jahil dan bersikap tidak sopan’
|
99,
3
|
7.
|
Perumpamaan
|
batin iku minangka bumi, kang gumelar
aneng alam donya, iya aneng sira kabeh, yen sira ayun weruh ‘batin
manusia seumpama bumi, yang digelar di dunia ini, dan berada di dalam diri
kamu sekalian, jika kamu mampu melihatnya’
|
211,
1-4
|
D.
Penggunaan Ejaan Khusus
Selain dapat mengidentifikasi penggunaan bahasa pada masa
lampau, penggunaan ejaan juga dapat dirunut menggunakan teks yang termuat dalam
manuskrip. Beberapa ejaan khusus yang dapat ditemukan pada manuskrip klasik
antara lain:
1.
Penggunaan
aksara lampah
Sistem ejaan ini umumnya
digunakan pada manuskrip Jawa. Aksara
lampah merupakan sistem ejaan yang memungkinkan untuk melakukan reduplikasi
konsonan antara dua kata. Yaitu kata yang terletak lebih awal dan berakhir
dengan konsonan, sedangkan kata berikutnya berawal dengan vokal (Behrend, 1995:
651). Misalnya kalimat dheweke seneng
asin (dia menyukai rasa asin), akan menjadi dheweke seneng ngasin.
2.
Penggunaan
konsonan median rangkap
Yaitu sistem ejaan khas dalam
manuskrip Jawa yang memungkinkan adanya pengulangan konsonan yang diapit dua
vokal. Misalnya kata kena (terkena),
akan ditulis dalam aksara Jawa menjadi kenna.
Kata sepi menjadi seppi.
E.
Pelestarian Budaya Melalui Manuskrip Klasik Jawa
Melalui pengkajian manuskrip Jawa, maka seolah-olah kita
akan terbawa dalam suasana atau konteks pada saat manuskrip tersebut ditulis.
Konteks tersebut juga akan membawa kita dalam suatu sistem budaya yang dianut
oleh masyarakat pada masa tersebut. Salah satu budaya yang cukup unik yang
terdapat dalam SWK adalah budaya
kritik. Kritik disampaikan secara lugas, sehingga berbeda dengan kritik yang
selama ini disampaikan oleh masyarakat Jawa. Kritik disampaikan oleh YS II,
pujangga kraton Surakarta kepada rajanya sendiri. Juga kepada para bangsawan
dan kalangan istana. Namun YS II juga memberikan pujian terhadap tokoh yang
dianggapnya ideal. Tokoh-tokoh yang dikritik dan dipuji oleh YS II dalam SWK dapat dilihat dalam tabel berikut:
No.
|
Nama Tokoh
|
Pekerjaan
|
Contoh
|
|
Baik
|
Buruk
|
|||
1.
|
Kyai Ageng Sela
|
pertapa, pemimpin agama
|
√
|
|
2.
|
Bondan Kejawan
|
ketua desa, tokoh legendari yang menurunkan raja-raja
Mataram
|
√
|
|
3.
|
Wiradigda
|
pengulu
kraton
(penasihat PB IV)
|
|
√
|
4.
|
Nursaleh
|
pengulu
kraton
(penasihat PB IV)
|
|
√
|
5.
|
Bahman
|
pengulu
kraton
(penasihat PB IV)
|
|
√
|
6.
|
Sujanapura
|
Bupati
|
|
√
|
7.
|
Ki Ageng Abdul Mukyi
|
tokoh agama
|
|
√
|
8.
|
Rangga Madiun
|
Bupati Madiun
|
|
√
|
9.
|
Sri Sultan HB II
|
Raja Kraton Ngayogyakarta
|
|
√
|
10.
|
Pandhawa
|
Tokoh pewayangan
|
√
|
|
11.
|
Kurawa
|
Tokoh pewayangan
|
|
√
|
12.
|
Mangkubumi
|
Raja I Keraton Ngayogyakarta
|
√
|
|
13.
|
Kyai Murma Kepundhung
|
pemuka agama
|
|
√
|
14.
|
Panengah
|
pengulu kraton (penasihat PB IV)
|
|
√
|
15.
|
Patih Suwanda
|
Patih
|
√
|
|
16.
|
Patih Sindureja
|
Patih
|
√
|
|
17.
|
Pringgalaya
|
Patih
|
|
√
|
18.
|
Kyai Dipati Cakraningrat
|
Bupati
|
√
|
|
19.
|
Jayaningrat Pekalongan
|
Bupati
|
√
|
|
20.
|
Kartanegara
|
Bupati
|
√
|
|
21.
|
Citrasoma
|
Bupati
|
|
|
22.
|
Rangga Prawira Sentika dari Jipang
|
punggawa
|
√
|
|
23.
|
Pangran Pakuningrat
|
punggawa
|
√
|
|
24.
|
Suryanegara
|
punggawa
|
√
|
|
25.
|
Raden Supama
|
punggawa
|
√
|
|
26.
|
Kyai Tumenggung Puspanata
|
pedagang
|
√
|
|
27.
|
Mangun Oneng Pati
|
Adipati
|
|
√
|
Kritik yang disampaikan oleh YS
II tersebut tentunya juga dilatarbelakangi oleh kondisi sosial budaya yang
sedang berlaku di Surakarta pada masa karya tersebut ditulis. Keadaan masyarakat
Surakarta semasa pemerintahan Raja Pakubuwana (PB) IV cukup menyedihkan. Karya itu juga adalah keluhan hati YS II karena
tidak puas bukan saja dengan rajanya, tetapi juga pegawai kerajaan yang
menyebabkan terjadinya pergolakan politik. Sebagai pujangga kerajaan, YS II
yang mempunyai nilai moralnya yang didapati dari latar belakang keluarga,
pendidikan di pesantren, lebih-lebih lagi ajaran agama Islam itu, merasa muak,
bosan di satu pihak, dan sangat perduli kepada penderitaan dan penindasan
rakyat biasa yang miskin di satu pihak yang lain. Namun, YS II tidak mempunyai kuasa
menentang pihak pemerintah yang korup, lemah, dan hanya mementingkan
kepentingan masing-masing. Disebabkan simpati kepada rakyat, YS II bertanggung
jawab untuk memberikan nasihat kepada raja. Sebagai penulis, maka senjatanya
adalah pena.
Latar belakang
penulisan SWK ini sesuai dengan
pendapat Moertono (1985) yang menyatakan bahwa naskah ajaran moral yang ditulis
pada masa PB IV itu telah mencerminkan keadaan sosial dan masyarakat pada
masanya. Keadaan Surakarta yang menyedihkan itu telah juga diceritakan
Ranggawarsita, cucu YS II, dalam Serat
Jayabaya. yang menyatakan masa pemerintahan PB IV itu masyarakat Surakarta
adalah paling mundur dan menyedihkan. Pada masa ini, banyak pemuda sudah
meninggalkan nilai moral, dan terjadi perebutan di kerajaan untuk kepentingan
diri. Raja sendiri juga kurang bersikap tegas.
SWK ditulis ketika PB IV menjadi raja di Surakarta. Dalam
tempoh pemerintahannya dari tahun 1788-1820 M, perilaku raja ini telah
merangsang YS II menulis karya itu dari segi positif dan negatif. YS II sejak kecil telah hidup di
lingkungan istana. Setelah tamat pendidikannya di pesantren (usia 13-15 tahun),
sesuai dengan kebiasaan masyarakat dewasa itu, YS II kembali ke istana dan mulai
menulis bersama ayahnya. YS II juga telah banyak membaca karya ayahnya. Antara
yang telah meninggalkan kesan yang kuat sehinggakan telah mengubah pemikiran YS
II terhadap rajanya ialah Babad Giyanti yang mengandung kisah intrik politik di
Pulau Jawa semasa peristiwa palihan nagari
atau pembahagian Mataram menjadi dua pada tahun 1755 M. Raden Mas Said dalam
karya itu telah ditempatkan pada
kedudukan yang akan membuatnya menjadi Mangkunegara I sebagai pahlawan. Selain
itu, karya yang ditulis YS I pada periode 1746-1757 itu juga menempatkan Sultan
Mangkubumi sebagai pahlawan, tetapi PB II dan PB III digambarkan dengan kurang
bagus (Ricklefs 2002).
YS
II menggambarkan Sultan Mangkubumi sebagai tokoh yang berkeperibadian baik
dalam bait 92-95 dalam SWK yang
dipetik di bawah ini:
Abot
sangganing pupuh, duk alame swargi Kang Sinuwun, Mangkubumi yen prang lan
budine kang ning, kalethek namung wong telu, kang dadi kondhang palugon.
Suprandene melangkruk, sabab pikire sampun gumathuk, bebudene santosa datan
darengki, weruh wekasaning dunung, dadining pakewuh katon. Patitis yen
tumanduk, tamtu dadi lamun duwe ucul, gendholane metu saking dalil kadis,
taberi alenguk-lenguk, ngiling-ilingi primbon. Putus abobot laku, bakal nistha
utama sor unggul, sakdurunge sedaya wus den kawruhi, gegadhangane ngendhukur,
ing mengko oyot sarandhon (SWK
bait 92- 95).
Ertinya:
Berat yang disangga oleh pupuh, pada saat Sang Sinuwun masih
hidup, Mangkubumi berperang dengan budinya yang bening, hanya dikotori oleh
tiga orang yang menjadi terkenal karena ketidaktahuannya. (Walaupun dikotori),
tetap mampu duduk di tempat yang tinggi, karena fikirannya sudah menyatu, budi
pekertinya baik dan bukan pendengki. Mampu melihat akhir daripada semua
masalah, rasa segan pun terlihat. Berhati-hati jika bertindak, jika akan
terlepas, maka ianya mesti berpegangan kepada dalil dan hadis. Rajin dan
telaten, suka duduk menyendiri dan menyepi. Membaca kitab primbon. Sudah selesai dan pantas, sehingga setiap tingkah lakunya
berbobot, ingin menjadi nista atau utama, ingin rendah atau tinggi, sebelumnya
semua sudah diketahui. Cita-cita yang sangat banyak, kokoh, seumpama akar pohon
randhu.
Dalam petikan di atas,
Mangkubumi dinilai YS II sebagai pemimpin yang mempunyai prinsip. Ini terbukti
daripada kemampuannya mengendalikan diri walaupun terjadi kekecohan dan intrik
di istana dengan melibatkan banyak pengahasut. Raja itu mampu berfikir selain
memandang jauh ke depan sehingga disegani semua orang (SWK bait 92), justru amat berhati-hati ketika bertindak yang
lazimnya berpandukan pedoman dalil dan hadis. Selain itu, raja itu juga menyendiri dan suka membaca primbon. Sikapnya tersebut penting dan
besar maknanya kepada dirinya sebagai seorang raja, dan juga seorang pemimpin..
Yang menarik adalah cita-citanya yang tinggi dan kokoh laksana akar pohon
randu. YS II merasa perumpamaan pohon randu layak digunakan kepada raja itu, karena
pohon ini mempunyai akar yang kuat menyerap air dan buahnya bermanfaat untuk
membuat alas tidur. Di bawah ini petikan gambar akar pohon randu untuk memberi
gambaran yang lebih jelas mengenai perumpamaan YS II itu.
Pohon
randhu
Sumber:
Randugede (2008)
Sedikit
sebanyak pembawaan, pandangan dan fikiran YS II sudah terpengaruh oleh
pandangan pribadi ayahnya yang mengawali kritikannya terhadap raja yang menjadi
penaungnya. Walaupun kritikan itu bukanlah perkara baru, karena biasanya
dilakukan dengan menggunakan bahasa kiasan, tetapi kritikan YS II kepada
rajanya adalah secara terbuka. Menurut amalan turun-temurun, kritikan pujangga
istana yang dilantik raja itu adalah tidak patut, lagipun kedudukan raja dalam
masyarakat feodal itu adalah di atas segala-galanya, lagipun tutur kata
daripada raja adalah segala-galanya: pujian dan hukuman. Raja, menurut
kepercayaan turun temurun dianggap sebagai wakil wewakiling Pangeran Kang Ageng atau wakil Tuhan yang mempunyai
tanda-tanda supranatural yang tidak mungkin dipunyai orang lain, jauh sekali bedanya
daripada rakyat biasa.
Tetapi,
disebabkan angin pendemokrasian, pembebasan dan pembaratan sudah mula bertiup,
maka dialami masyarakat Jawa pada pinggir abad ke-19, kekuatan wahyu itu
semakin lama semakin luntur. Selain itu, semasa YS II, raja Jawa yang dahulunya
mempunyai kuasa mutlak itu sudah tidak sedemikian lagi dengan adanya campur tangan
pihak Belanda dalam hal ikhwal politik (Kawiwara 2010). Selain itu, keperibadian
raja dengan sifat dan tingkah lakunya yang berbeda dari raja Jawa masa lalu
sudah membuatnya kurang disegani. YS II nampak sendiri perubahan yang berlaku,
maka telah terpanggil untuk mengkritik hal ikhwal, perbuatan, orang dan akibat
yang tidak disenanginya. Terjadinya hal, perbuatan, orang, dan akibat yang
tidak disenangi itu adalah karena kelemahan rajanya. Oleh karena itu, kritik
sosial dalam karya YS II itu boleh juga ditafsir sebagai kritikannya
kepada rajanya sebagai ketua yang paling besar kuasanya dan ”pemimpin” yang
sepatutnya dapat memimpin para pejabat kerajaan untuk memimpin rakyatnya.
Tetapi, tidaklah sedemikian yang berlaku. Kritikan YS II yang keras, tajam dan
dibuat secara terbuka itu juga
disebabkan sikapnya yang tidak simpatik
kepada generasi PB, sejak PB II dan III. Disebabkan keadaan hidup rakyat
semakin memburuk dalam masa pemerintahan itu, maka kesemua hal yang tidak
disenanginya itu telah dijadikan peluru yang dilepaskan melalui senjata pena
yang ada di dalam tangannya. Kritikan utama YSII kepada rajanya adalah karena
raja itu didapati kurang mampu, lemah, maka tidak boleh memerintah negara
dengan baik.
Kritikan
pertama daripada YS II sehubungan itu dapat dilihat dalam bait 33 naskah SWK yang menyiratkan sikap politik YS II
yang dikatakan tidak simpatik itu:
aja dumeh yen awirya, anak putune wong mukti, senadyan mengku
negara, aja sumakean edir, tan nganggo dugi-dugi, sapa sira sapa ingsun, pan
iku bebakalan, atombok kaki lan nini, kang wus becil panggonane melu kambah (SWK bait 33).
Ertinya:
Jangan
mentang-mentang keturunan luhur, anak cucu orang berjaya, walaupun penguasa
negara tidak boleh seenaknya dan sombong. Tidak memakai perkiraan, siapa kamu
dan siapa saya. Itulah yang pada akhirnya akan mencelakakan dan mencemarkan
nama kakek dan nenek yang sudah berada di tempat yang baik. Ikut merasakan
akibatnya.
Dalam
masyarakat Jawa, orang yang semakin tinggi kedudukannya dianggap semakin
pandai, sekaligus semakin sensitif. Sesuai dengan ungkapan dhupak bujang, esem mantri, semu bupati. Pada bait di atas terdapat
ungkapan yang berbunyi aja senadyan
mengku negara, aja sumangkeyan edir ‘jangan mentang-mentang menguasai
negara, menjadi sombong’. Tetapi, ternyata YS II sudah mengkritik rajanya
secara terbuka. Dalam konteks sosio-politik seperti yang tergambar dalam SWK, raja yang dimaksudkan itu tidak lain
daripada PB IV. Berasaskan bait di atas, YS II telah juga memindahkan keadaan
sosial yang buruk itu bersumber dari sifat PB IV yang sewenang-wenang, sombong,
serta menjatuhkan nama baik leluhur dan nenek moyangnya yang telah meninggal.
YS II juga mengkritik
bangsawan yang tinggal di keraton karena selalu bertengkar. Sebahagian
besar bangsawan merasa bingung karena berada dalam masa peralihan kuasa daripada PB III kepada PB IV. Keadaan
Surakarta pada masa tersebut semakin tidak menentu. Ketidaktentuan itu bermula
daripada pembahagian wilayah kerajaan Mataram serta tuntutan Belanda ke atas
tanah kerajaan yang telah membuat wilayah jajahan Surakarta semakin sempit.
Berdepan dengan keadaan politik yang juga disebabkan campur tangan daripada
pihak Belanda, sudah tentu sebahagian bangsawan didapati semakin gelisah.
Mereka khawatir tidak akan mendapat tanah untuk menyarai keluarga besar mereka,
lebih-lebih lagi mempertahankan gaya hidup mereka yang mewah sebagai orang kaya
dan orang yang berkuasa.
F.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas,
dapat disimpulkan bahwa SWK memuat
keanekaragaman bahasa dan budaya pada masa lampau. Dengan pengkajian bahasa dan
budaya diharapkan dapat memperkuat jati diri bangsa dan menambah kekayaan
bahasa dan budaya. Budaya tersebut tidak hanya unik, tetapi sebagian juga masih
relevan dengan keadaan masyarakat pada masa sekarang ini. Naskah Jawa merupakan
suatu bukti tingkat peradaban masyarakat Jawa. Namun sayangnya naskah-naskah
Jawa pada masa sekarang ini lebih banyak yang tersimpan, berdebu, dan
berangsur-angsur rusak sebelum diketahui kandungannya. Oleh karena itu sudah
menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat agar kekayaan dan kearifan lokal yang
terkandung dalam naskah Jawa tidak hilang begitu saja. Diharapkan agar semua
fihak dapat lebih peduli terhadap kewujudan naskah Jawa sehingga dapat diambil
langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan naskah. Baik penyelamatan secara
fisik dengan cara digitalisasi, mikrofilm, dan reproduksi, maupun penyelamatan
kandungan naskah dengan cara melakukan lebih banyak penelitian.
DAFTAR
PUSTAKA
Baried, Siti Baroroh, 1994. Pengantar Teori
Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Behrend, T.E.
& Pudjiastuti, Titik (pnyt.). 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A dan 3B: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T.E.
(pnyt.). 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d' Extreme-Orient.
Behrend, T.E. 1995. Serat
Jatiswara-Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930 (terj. A. Ikram).
Jakarta: INIS.
Florida, N.K. 1993. Javanese Literature in
Surakarta Manuscripts: Introduction and Manuscripts of The Karaton Surakarta Vol. 1. Ithaca: Cornell University South East Asia Program.
Ismaun, Banis. 1996. Mengenal ragam bahasa Jawa dan
pengembangannya. Kertas Kerja
Kongres Bahasa Jawa II 1996.
Ajuran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY. Batu,
Malang, 22-26 Oktober.
Kawiwara. 2010. Jawa
Kuno Jawa Islam Surakarta awal Surakarta akhir karya emas masa gemilang. http://www.macapat.4t.com/alur.htm
[30 April 2010].
Moertono, S. 1985. Negara
dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad
VXI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Padmosoekotjo, S.
1953. Ngengrengan Kasusastran Djawa (Rancangan Kesusasteraan Jawa).
Yogyakarta: Soejadi.
Pudjiastuti, Titik.
2001. Madura. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta,
S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan
Umum, hlm. 86-89. Jakarta: Balai Pustaka.
Randugede. 2008. Randu gede. http://cahrandugede.wordpress.com/2008/11/09/hello-world
[12 Agustus 2010].
Riyadi, S. 2001.
Kasultanan. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D., Adiwimarta,
S.S. (pnyt.). Sastra Jawa Suatu Tinjauan
Umum, hlm. 61-69. Jakarta: Balai Pustaka.
Saparinah, Endang Siti.
2001. Kasunanan. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D.,
Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa
Suatu Tinjauan Umum, hlm. 54-61. Jakarta: Balai Pustaka.
Setyawati, Kartika.
2001. Pakualaman. Dlm. Sedyawati, E., Wiryamartana, I.K., Damono, S.D.,
Adiwimarta, S.S. (pnyt.). Sastra Jawa
Suatu Tinjauan Umum, hlm. 76-83. Jakarta: Balai Pustaka.
Soebadio, Haryati. 1991. “Relevansi Pernaskahan dengan Berbagai Bidang
Ilmu”. Penerbitan Ilmiah FS UI, 12, hlm. 1-17.
Subalidinata, R.S.
1981. Seluk Beluk Kesastraan Jawa. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Sastra
Nusantara Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Yasadipura II. 1889. Serat Warni-warni: Serat Wicara Keras (Macam-macam
Naskhah: Naskhah Wicara Keras). MSS. Cod. P 86 PB.C. 157 Rol. 130 No. 2,
Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,
Yogyakarta.
Yasadipura II. 1908-1921.
Serat Suluk Warni-warni: Serat Wicara Keras (Macam-macam Suluk: Naskhah
Wicara Keras). MSS. Cod. P 26
PB.C.53 Rol. 96 No. 4, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo, Yogyakarta.
Yasadipura II. Kidung Sisingir: Serat Hunde (Winastan Serat Wicara Keras)
(Kidung Sisingir: Serat Hunde Disebut Naskhah Wicara Keras). MSS. Cod. P 203 SK
172 Rol.107 No. 1, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo, Yogyakarta.
Yasadipura II. Serat Primbon: Serat Wicara Keras. MSS. Cod. Pr. 53
PB.A 61 Rol 95 No. 1, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo, Yogyakarta.
Yasadipura II. t.th. Kempalan Serat Warni-warni: Serat Ondhe Wicara Keras
(Kumpulan Naskhah: Serat Ondhe Wicara Keras). MSS. Cod. P 20 PB.A.236 Rol. 129
No. 7, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo,
Yogyakarta.
Yasadipura II. t.th. Serat Wicara Keras dalam Kempalan Serat
Warni-warni (Serat Wicara Keras dalam Kumpulan Macam-macam Naskhah). MSS. Cod. L
130 SK62 Rol. 131 No. 4, Perpustakaan Muzium Sonobudoyo, Yogyakarta.
Yasadipura II. t.th.
Serat Wicara Keras saha Serat Jayengbaya (Serat Wicara Keras dan Serat
Jayengbaya). MSS. Cod. L 353 PB.C.164 Rol. 143 No. 3, Perpustakaan Muzium
Sonobudoyo, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar